Efesus 4:27
“… dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.”
Pikiran kita bisa menjadi pangkalan Iblis yang menghambat, bahkan menggagalkan pekerjaan Allah. Seperti yang dikatakan Tuhan Yesus kepada Petrus, “Enyah Iblis! Engkau satu batu sandungan bagi-Ku, karena engkau bukan memikirkan yang dipikirkan Allah, melainkan yang dipikirkan manusia.” Hal itu dikatakan ketika Petrus mencoba mencegah Yesus ke Yerusalem. Petrus mau supaya keinginannya dipenuhi, Petrus tidak ingin Yesus disalib. Padahal itu bukan rencana Allah. Rencana Allah adalah penderitaan salib. Sebab tanpa salib, tidak ada kebangkitan dan kemenangan. Kalau kita punya persoalan, lalu minta didoakan supaya lolos dari persoalan itu, apakah itu rencana Allah? Bukankah masalah, persoalan dan kesulitan adalah nutrisi jiwa dan iman untuk pendewasaan kita?
Kata ‘kesempatan’ dalam ayat di atas berasal dari kata topon (τόπον), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan: place, foothold (tempat berpijak). Bagaimana kita tidak memberi tempat berpijak kepada Iblis? Kalau kita memenuhi pikiran kita dengan kebenaran. Jadi jangan anggap remeh setiap pertemuan. Sebab di setiap pertemuan pasti ada sesuatu yang kita peroleh, yang melengkapi puzzle yang belum lengkap, sirkuit yang belum utuh, supaya terjadi ledakan-ledakan. Paling tidak kita bisa merasa bahwa dunia bukan rumah kita. Prinsip ini akan semakin kuat dari hari ke hari. Sehingga kita bisa mengalah, tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Mengapa?
Pertama, kita memberi ruangan kepada Tuhan untuk bertindak. Karena Tuhanlah yang punya hak untuk mengadili dan menghukum.
Kedua, kita belajar memiliki irama hidup tidak liar; irama tunduk, irama nurut, irama mengalah, seperti irama Tuhan Yesus.
Ketiga, biar kita semakin merindukan perjumpaan dengan Tuhan dan digelarnya pengadilan di surga, bukan di bumi.
Ini yang membuat kita akhirnya memiliki kerinduan untuk hidup suci dalam segala hal yang pengaruhnya akan terasa di segala aspek kehidupan kita. Masalahnya, bagaimana kita mengganti ‘apa yang dipikirkan manusia’ dengan ‘apa yang dipikirkan Allah?’ Selama ini, kalau seseorang memikirkan apa yang dipikirkan orang pada umumnya, itu dianggap standar. Padahal, bagi orang Kristen, pikirannya harus diisi oleh pikiran Tuhan. Maka dalam hal ini kita perlu kerja keras, pikiran kita harus diisi terus dengan kebenaran. Setiap hari harus punya waktu membaca buku rohani yang baik, mendengarkan khotbah yang baik secara langsung maupun lewat media sosial, dan memperhatikan setiap kejadian yang Tuhan izinkan berlangsung dalam hidup kita.
Justru, di mana kita punya peluang untuk memikirkan apa yang dipikirkan manusia, kita memilih memikirkan apa yang dipikirkan Allah. Jadi, kita itu sebenarnya tidak boleh ekstrem, tetapi harus sangat ekstrem. Kita tidak hanya fanatik, namun harus sangat fanatik. Di dalam 2 Korintus 11:2, Paulus mengatakan, “Tetapi aku takut kalau-kalau pikiran kamu disesatkan dari kesetiaan kamu yang sejati kepada Kristus, sama seperti Hawa diperdayakan oleh ular dengan kelicikannya.” Dosa masuk melalui penyesatan dalam pikiran. Dan di dalam gereja terjadi penyesatan ini. Oleh sebab itu, catat baik-baik, musuh utama yang paling mengerikan—namun tidak disadari oleh banyak orang Kristen—adalah kewajaran hidup. Maka kita harus keluar dari kewajaran hidup.
Pengajaran yang kelihatannya logis dan dibutuhkan oleh masyarakat atau orang Kristen, sebenarnya itu sebuah modifikasi ayat-ayat yang diambil lalu digabung dengan semangat dunia. Untuk mengetahui apakah pengajaran yang kita dengar adalah murni atau tidak, kita harus periksa diri dengan jujur:
Pertama, apakah hidup kita bertambah baik atau tidak; bertambah kudus atau tidak?
Kedua, apakah kita masih mengingini harta dunia? Apakah kita mengingini sesuatu yang, “Kalau aku dapat ini, aku bahagia.” Atau apakah kita sudah sampai titik di mana kita sudah mengakhiri jalan hidupmu.
Ketiga, apakah masih ada dorongan-dorongan dosa dalam diri yang mau kita puaskan?
Keempat, apakah masih ada kebencian atau dendam?
Kita harus periksa diri supaya setiap saat, kalau kita dipanggil pulang Tuhan, kita siap, kita bersih. Memang, bukan berarti kita sudah sempurna, masih mungkin bisa salah. Namun kita tidak memilih dan tidak merencanakan untuk salah.
Semua isi Alkitab harus menjurus kepada satu hal: Yesus, yaitu bagaimana kita diselamatkan, dikembalikan ke rancangan semula yang modelnya adalah Yesus. Namun lihat bagaimana pengajaran hari ini, mereka memungut kisah di Perjanjian Lama dan dijadikan standar bagi hidup umat Perjanjian Baru. Kelihatannya ayat Alkitab, tetapi tidak menuju kepada pokok inti kekristenan, yaitu Yesus, yang kepada-Nya kita membangun diri. Itulah sebabnya banyak orang kompromi dengan dunia. Akan tetapi, jika Yesus menjadi model hidup yang harus kita kenakan, tidak bisa ada kompromi. Dalam Yohanes 10:10 dikatakan, “Ia datang untuk memberi hidup…” Hidup di ayat ini adalah zoe (ζωή), bukan bios (βίος), yang artinya hidup yang berkualitas. “… supaya memilikinya dalam segala kelimpahan.” Ini tidak menyangkut berkat jasmani.