Skip to content

Pensiun Dini

 

Sejatinya, semakin kita tua, semakin tinggi kehausan kita akan Allah, porsi kehausan kita harus semakin besar. Seperti orang kecanduan obat atau narkoba, ia menghendaki dosis atau kadar yang lebih besar; demikian pula kita. Seiring berjalannya waktu, seharusnya kita semakin mengharapkan dan membutuhkan dosis yang lebih tinggi dalam merindukan Tuhan. Ironis, banyak orang yang belum mengerti apa artinya ‘Tuhan sebagai satu-satunya kebutuhan.’ Sebab banyak orang hanya sampai pada level kebutuhan jasmani; makan, minum, seks (yang sama dengan keinginan daging), barang-barang dunia (yaitu keinginan mata) serta harga diri (keangkuhan hidup). Dan itu sudah terlatih sejak kecil. Dan banyak hal yang bisa membuat jiwa terisi oleh berbagai materi dunia. 

Sebaliknya, banyak orang yang belum sampai pada tingkat menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebutuhan. Mestinya, semakin tua, mata kita semakin kabur dan sampai buta terhadap barang-barang dunia. Kalau kita mengingini barang dunia atau sesuatu, karena kita membutuhkan hal itu untuk pekerjaan Tuhan, bukan menjadi kesenangan dan kebanggaan. Masalahnya, penyakit dalam kodrat dosa kita otomatis bisa terefleksi dalam berbagai sikap, tindakan dan perbuatan. Ini warisan dari Lusifer, yang kemudian meracuni Adam dan Hawa, ketika ia mau menyamai Allah. Jadi, semakin tua, kita harus semakin merindukan Allah. Kita harus sampai pada satu perasaan yang tidak dibuat-buat; “Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi.” 

Kita yang harus berjuang untuk menciptakan selera itu dan memiliki hasrat tersebut, memiliki rasa ‘butuh’ tersebut — dan ini tidak bisa dibuat-buat. Hal ini dapat terbentuk kalau kita sungguh-sungguh terus memandang Tuhan dan membangkitkan gairah kita terhadap Tuhan. Secara logika kita sudah bisa berhitung bahwa segala sesuatu harus dan akan kita tinggalkan dan tidak ada yang dapat kita miliki selain Tuhan. Logika kita pun mestinya sudah berhitung begitu; “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau. Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi” (Mzm. 73:25). Logika kita harus bermain dengan sehat. 

Ironis, banyak orang yang logikanya seperti hewan; mari kita makan dan minum sebab besok kita mati. Hewan itu tidak pakai akal. Tetapi kita manusia yang mesti berakal budi, berakhlak dan bijaksana. Banyak ayat yang mestinya membuat kita berlogika dengan baik. Jadi dengan logika itu kita terus membangkitkan gairah, kerinduan akan Tuhan. Seperti memaksa diri kita, sampai akhirnya kita bisa merasakan selera itu bahwa yang kita butuhkan, kita ingini, hanya Tuhan. Sampai kita bisa menembus batas, masuk kawasan di mana kita merasakan bahwa hanya Tuhan yang kita butuhkan.

Barang-barang yang kita sukai, mulai distempel ‘selamat tinggal.’ Ingat, apa yang mengikat hati kita harus kita lepaskan. Supaya kita akan terbang lebih cepat dan pasti lebih tinggi karena tidak diikat, ditahan, dibebani oleh berbagai hal tersebut; keinginan daging, keinginan mata, keangkuhan hidup. Roh Kudus akan menolong, kalau kita sungguh-sungguh punya niat, hasrat, dan tekad untuk itu. Sehingga seiring berjalannya waktu, kita makin memiliki kehausan akan Allah, makin memiliki kerinduan akan Allah, sampai akhirnya kita menjadi ‘perawan suci.’ Keringanan kita akan pasti disertai dengan keriangan dan sukacita. 

Khususnya bagi anak-anak muda, kalian semua harus melakukan ‘pensiun dini.’ Tidak usah tunggu tua untuk kalian pensiun, tapi sejak muda ‘pensiun.’ Jadi kalau kalian bertemu teman lama, lalu mengajak ke tempat-tempat tertentu yang tidak patut atau mengajak melakukan hal-hal yang tidak pantas, kalian jawab, “Saya sudah pensiun.” Bagi kita semua juga harus seperti itu. Kalau tidak pensiun dini, pasti kita mencuri; mencuri waktu Tuhan, mencuri kemuliaan Tuhan. Jadi ingat, hari ini kita semua mau serius ‘pensiun dini’. Ayo kita praktikkan kehidupan seperti ini. Kita harus sungguh-sungguh pensiun dari keinginan daging, keinginan mata, keangkuhan hidup. Jangan banyak bicara. Kalau yang masih banyak bicara, berarti belum pensiun. Bagi yang masih gampang bereaksi, berarti belum pensiun. Juga yang masih mau menikmati pujian, sanjungan, hormat, artinya ia belum pensiun.