Pasti orang Kristen yang benar merindukan hidup benar, merindukan hidup suci. Tetapi kerinduan itu bisa tidak konstan. Kadang-kadang rindu hidup benar, kadang-kadang tidak. Mungkin lebih banyak tidaknya. Hanya pada waktu di gereja mendengarkan khotbah pendeta, lalu tergerak mau hidup benar, tergerak sesaat hidup benar. Tetapi ketika keluar dari gereja, gairah atau semangat itu hilang atau lenyap lagi. Rasanya hal ini terjadi dalam kehidupan banyak orang, termasuk dalam kehidupan hamba Tuhan. Kalau kita naik pesawat terbang lalu ada turbulence, ada guncangan hebat di atas, kita minta ampun kepada Tuhan atas dosa, kesalahan yang kita masih lakukan. Lalu kadang-kadang disertai janji untuk hidup benar, hidup suci.
Tetapi setelah pesawat mendarat dengan baik di landasan pacu, lenyap janji itu. Sudah, aman. Sudah tidak ada dalam turbulence. Itu namanya tekad yang situasional, komitmen yang situasional. Dan itu terjadi dalam hidup kita selama bertahun-tahun. Akibatnya, kita tidak pernah hidup suci, kita tidak pernah hidup benar. Keadaan ini sering tidak diratapi, karena dianggap wajar. Yang lain juga berbuat dosa, dan aman-aman saja. Lalu tidak jarang orang-orang Kristen menggampangkan hidup ini, menganggap remeh hidup ini, tidak sungguh-sungguh mau bertobat. Betapa celakanya kehidupan seperti ini. Sebab dengan kehidupan yang tidak memiliki komitmen yang permanen untuk hidup suci, hidupnya tidak akan terberkati.
Tentu berkat di sini bukan hanya menyangkut makan minum, melainkan banyak aspek. Berkat di sini artinya seseorang bisa menjalani hidup, lalu bertumbuh dalam kesempurnaan untuk serupa dengan Yesus atau sempurna seperti Bapa, dan layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga. Faktanya, tidak bisa dibantah, banyak orang Kristen yang seperti itu, lalu merasa keadaannya nyaman-nyaman saja dan tetap hidup di dalam keadaannya yang tidak atau kurang menyenangkan hati Allah. Orang seperti ini—kalau ia tidak bertobat—masuk neraka. Sebab yang masuk surga adalah orang-orang kudus. Bukan orang-orang yang setengah kudus. Jadi kalau seseorang tidak hidup di dalam kekudusan, tidak bisa masuk surga.
Dalam Wahyu 21:8 dikatakan, “Tetapi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji yang tega menyakiti sesama, orang-orang pembunuh. Bukan hanya menghabisi nyawa orang, tetapi membenci seseorang. Orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala, dan semua pendusta, mereka akan mendapat bagian mereka dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang. Inilah kematian yang kedua.”
Mengerikan. Hal ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan mengajak kita untuk benar-benar hidup suci mulai sekarang. Jangan main-main. Jadi, kita tidak boleh punya komitmen yang hanya situasional. Kitalah yang menentukan ambisi, hasrat, keinginan, tekad untuk menjadi berkenan di hadapan Tuhan. Jangan hanya berkata, “Saya penuh kekurangan dan kelemahan. Tetapi nantilah saya bertobat.” Jangan nanti, harus sekarang. Perhatikan anak-anak yang bodoh di sekolah, bahkan tidak naik kelas, mereka sering menunda mengerjakan PR. Tidak mungkin jadi juara, bahkan sulit untuk bisa naik kelas. Kita jangan menyisakan pekerjaan rumah. Jadi begitu kita punya dosa, segera kita selesaikan. Dan kita tahu kelemahan kita apa. Apalagi kalau kita benar-benar memperkarakannya di hadapan Tuhan. Roh Kudus pasti bicara, tidak mungkin tidak.
Dan kesempatan ini berharga sekali. Tidak bisa kita tukar dengan apa pun. Waktu seseorang sekarat di ujung maut, baru ia mengerti betapa berharganya waktu yang dia miliki untuk bebenah diri supaya berkenan di hadapan Tuhan. Apalagi kalau sudah menutup mata, lalu dibawa di hadapan takhta pengadilan Allah. Betapa mengerikan keadaan itu. Masalahnya, kita sering membenarkan diri dan bersikap permisif terhadap dosa yang kita lakukan, dengan beralasan proses, kelemahan, kekurangan kita.
Sejatinya, ketika kita berbuat dosa, ada penguasaan Iblis di dalamnya. Seperti Petrus baru saja mengatakan, “Engkau Anak Allah yang hidup. Mesias, Anak Allah yang hidup.” Yesus selalu mengatakan, “Bukan kamu yang menyatakan ini, Petrus, tetapi Bapa di surga.” Tetapi beberapa waktu kemudian, dia mencegah Yesus ke Yerusalem dan Yesus berkata: “Enyah, Iblis!” Bagaimana bisa secepat itu beralih dari Allah ke Iblis? Bisa, ternyata. Maka, kita yang menentukan siapa yang mengendalikan hidup kita. Kita mesti membiarkan diri dikendalikan oleh Tuhan sepenuhnya.
Sejatinya, ketika kita berbuat dosa, ada penguasaan Iblis di dalamnya.