Skip to content

Penghargaan kepada Allah

 

Satu hal yang penting sekali, bagaimana membuat Tuhan itu terhormat di mata kita, yang juga akan menjadi terhormat di mata orang di sekitar kita, yaitu memercayai pribadi-Nya sepenuhnya. Memercayai Pribadi Allah dengan lengkap, tanpa keraguan. Penghargaan kita kepada Allah adalah ketika kita memercayai-Nya sepenuhnya tanpa keraguan atau kecurigaan sama sekali. Dari situlah seseorang bisa menuruti kehendak Allah dan rencana-Nya. Untuk itu, ada satu hal yang harus kita capai, yaitu perjumpaan dengan Allah secara mendalam, percakapan dengan Allah secara nyata atau konkret. Kita merasa sudah berdoa, tapi belum tentu telah mencapai perjumpaan yang ideal yang Allah kehendaki; belum tentu kita mencapai sebuah percakapan atau interaksi dengan Allah. 

Berdoalah terus sampai kita bisa berdoa. Berdoalah terus sampai kita menemukan apa itu doa. Carilah Tuhan sampai kita menemukan Dia. Jadi, ada semacam tingkat-tingkat yang kita harus capai. Dan ini akan menjadi satu kesukaan kita dalam berdoa, bagaimana kita bisa benar-benar sampai ke hadirat Allah, melintasi semua langit, semua bintang, dan suara kita sampai ke takhta-Nya. Mungkin kedengarannya mistik atau mistis, tetapi Alkitab mengajarkannya. Seperti yang dikatakan Alkitab, “Darah Habel sampai ke telinga Tuhan.” Demikian pula penyembahan, doa, seruan kita sampai ke takhta Allah. Penyembahan yang tulus, dengan kesucian hidup, dan tidak terikat dengan kesenangan dunia, membuat kita bisa terbang setinggi-tingginya sampai ke takhta Allah. Dan kita bisa memiliki pengalaman-pengalaman doa yang tidak akan bisa dijelaskan kepada orang lain karena pengalaman itu menjadi rasa dalam batin kita. 

Pengalaman roh yang tidak bisa dibagikan kepada orang lain, yang tidak bisa dibahasakan kepada orang lain. Tetapi, orang yang mencapai tingkat-tingkat persekutuan, pertemuan, dialog, interaksi dengan Allah akan nampak dalam kehidupannya. Akan terasa waktu dia menyanyi, berdoa, berkhotbah, dalam keputusan-keputusan, dan kebijakan-kebijakannya. Capailah itu, yaitu perjumpaan dengan Allah. Yakinlah Dia hidup dan nyata. Orang yang bisa dipercayai Allah karena memercayai Allah, akan menjadi orang yang dapat memikul beban rencana Allah untuk dipenuhi dalam dunia ini. Allah tidak memakai hewan atau makhluk lain, bahkan Allah tidak memakai malaikat-malaikat-Nya untuk memenuhi rencana-rencana-Nya. 

Malaikat-malaikat melayani orang-orang saleh, anak-anak Allah yang diselamatkan, dan tentu juga yang melakukan pekerjaan Bapa. Tetapi pelaku utamanya tetap kita. Perjumpaan dengan Allah, interaksi yang benar membuat kita bisa menemukan Tuhan dan memercayai pribadi-Nya. Orang-orang seperti ini akan dipercayai Tuhan untuk melakukan pekerjaan Tuhan. Contoh yang paling konkret adalah Abraham di Perjanjian Lama. Bagaimana Allah memercayakan rencana-Nya, yaitu keselamatan atas dunia ini, kepada Abraham. Dalam perjalanan hidup orang yang dipercayai Tuhan untuk mengemban pekerjaan-Nya, terkadang seperti mendapat kesusahan atau kesulitan. Tuhan menjanjikan Abraham memiliki banyak anak, tetapi Abraham harus menunggu anaknya selama seperempat abad. Nyaris rasanya sudah tidak ada peluang lagi karena Sara sudah mati haid, Abraham pun mati pucuk. Tetapi kita bisa melihat bagaimana Tuhan menyempurnakan Abraham dengan memercayai Allah sepenuhnya tanpa kecurigaan. Ini luar biasa. Dan sampai pada tingkat ujian terakhir, Abraham mempersembahkan anaknya, Ishak. Abraham pun tanpa ragu melakukannya. 

Jadi, kalau kita terus mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan mulai memercayai pribadi-Nya, maka Tuhan akan memercayakan pekerjaan-Nya kepada kita. Tuhan mau agar kekasih-kekasih-Nya memercayai Ia sepenuhnya. Dalam perjalanan-Nya, dengan mengenakan kemanusiaan seutuhnya, Yesus sempat dalam kondisi krisis. Ia berkata kepada murid-murid-Nya, “Sedih hati-Ku, mau mati rasanya.” Sampai nyaris Yesus lari dari tanggung jawab ketika Ia berkata, “Jika boleh cawan ini lalu dari pada-Ku.” Tetapi Tuhan Yesus mengalahkan niat pribadi-Nya dan memenangkan dengan mengatakan, “Kehendak-Mu yang jadi, Bapa.” Dan puncaknya adalah ketika Ia ada di atas kayu salib, di mana Bapa meninggalkan Dia. Tetapi Dia tetap tidak mencurigai Bapa dan mengatakan, “Ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” 

Kita melihat benang merah dari Abraham, sampai kehidupan Yesus. Kehidupan kita juga begitu. Ketika kita mulai menemukan Allah, mengalami perjumpaan dengan Allah, maka Allah memercayakan pekerjaan-Nya. Tetapi Allah tidak membuat jalan pelayanan kita itu lancar. Tetapi dalam situasi seperti ini, Tuhan mengajar kita untuk memercayai Pribadi-Nya. Akhirnya, suatu hari nanti bukan hanya prestasi pelayanan yang kita capai, melainkan batin yang utuh memercayai Allah tanpa keraguan; percaya tanpa jaminan. Bukan hanya jiwa-jiwa yang kita bawa dalam Kerajaan Surga, bukan hanya orang bodoh yang kita entaskan menjadi orang cerdas, atau orang miskin yang menjadi orang yang berkecukupan, atau orang yang tidak bermoral menjadi orang yang bermoral dan semua kita giring ke langit baru bumi baru, melainkan kita sendiri menjadi manusia yang utuh, yang memercayai Allah tanpa kecurigaan.