Saudaraku,
Kalau kita melihat dengan jujur, maka pujian dan penyembahan yang dilakukan oleh banyak gereja hari ini lebih bersifat seremonial, semacam upacara agama seperti yang dimiliki bangsa Israel dan semua agama di dunia. Padahal kekristenan bukan agama, melainkan jalan hidup, artinya bagaimana menjalani hidup seperti yang dijalani oleh Tuhan Yesus. Inilah isi dan makna kekristenan yang orisinal atau yang sejati. Dalam kitab Perjanjian Baru, para rasul dan Tuhan Yesus sendiri tidak pernah merumuskan liturgi dan segala tata cara ibadah yang bersifat seremonial.
Betapa menyimpangnya kalau hari ini liturgi tersebut disamakan sebagai ibadah atau kebaktian kepada Tuhan. Padahal ibadah atau kebaktian adalah penggunaan semua potensi jasmani maupun rohani secara sengaja untuk kepentingan Tuhan (Rm. 12:1). Hal ini justru membuat banyak orang Kristen semakin jauh dari penyembahan yang benar atau tidak mengenal penyembahan yang sesungguhnya. Ibadah atau kebaktian yang benar adalah merubah diri terus menerus untuk menjadi seperti Tuhan Yesus dan membantu orang lain berbuat hal yang sama. Kesalahan ini harus dibongkar agar orang percaya dibawa kepada kekristenan yang adalah jalan hidup.
Kata menyembah dari terminologi Alkitab Perjanjian Baru tidak menunjuk pada seremonial sama sekali, tetapi lebih pada sikap hati dan sikap hidup atau gaya hidup. Dalam Lukas 4:8 Tuhan Yesus berkata bahwa orang percaya harus menyembah Tuhan Allah. Menyembah di sini berarti memberi nilai tinggi Tuhan dengan penghargaan yang pantas (Yun. proskuneo). Hal ini jelas menyangkut sikap hati dari pengertian yang benar mengenai Dia. Konteks perkataan Tuhan Yesus ketika berbicara mengenai menyembah adalah ketika Tuhan Yesus ditawari keindahan dunia. Tuhan Yesus menolak sebab Ia menghormati Bapa di surga lebih indah, lebih penting dan lebih utama dari memiliki keindahan dunia ini.
Jadi, orang yang masih menghargai dunia ini lebih dari Tuhan (orang yang materialistis) tidak mungkin bisa menyembah Tuhan. Mulutnya menyembah Tuhan, tetapi hatinya tidak menyembah. Orang yang menghargai dunia ini berarti tidak mengasihi Bapa atau tidak menghormati-Nya (1Yoh. 2 :15-17). Mereka adalah orang-orang yang dikategorikan sebagai musuh Allah (Yak. 4:4). Bagaimana musuh Allah dapat menyembah?
Tidak mungkin seseorang bisa menyembah Allah tanpa memiliki pengertian yang benar mengenai Dia. Kekaguman terhadap apa yang dilakukan Tuhan bagi kita akan membangun sikap menghargai dan menghormati Tuhan. “Yang dilakukan Tuhan” bukan hanya berkat jasmani; seperti kesehatan, keberhasilan studi, keberhasilan karir, rumah tangga yang bahagia, anak-anak yang sukses dan lain sebagainya yang bersifat sementara di bumi atau duniawi.
Yang dilakukan Tuhan adalah proses keselamatan yang luar biasa. Dimulai dari pengurbanan-Nya di kayu salib, pemberian Injil dan Roh Kudus dan penggarapan-Nya melalui segala peristiwa kehidupan. Melalui fasilitas keselamatan tersebut Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula. Kita bisa mengenal satu-satunya Allah yang benar dan bersekutu dengan Dia. Kita diperkenan dan dijadikan anak-anak abadi-Nya yang akan bersama dalam Kerajaan Surga. Kesabaran-Nya menuntun kita yang selalu gagal untuk mencapai level yang diingini-Nya.
Sementara hidup di dunia, Tuhan pasti memelihara kita dan memberi damai sejahtera yang melampaui segala akal; tidak sama seperti yang diberikan dunia. Semua itu membangkitkan kekaguman dan ucapan syukur kita yang membuat pujian dan penyembahan kita berkualitas di atas landasan yang benar. Kalau kekaguman kepada Tuhan didasarkan pada pemenuhan berkat jasmani seperti bangsa Israel—seperti yang terdapat di banyak ayat dalam Perjanjian Lama—maka pujian dan penyembahan belum memenuhi standar umat Perjanjian Baru.
Ironis, pujian dan penyembahan yang dilakukan gereja selama ini masih standar umat Perjanjian Lama. Landasannya adalah berkat jasmani, bersifat seremonial dan sarat dengan penekanan unsur sarana alat musik dan teknis pujian dan penyembahan (tepuk tangan, menggunakan rebana, kecapi dan lain sebagainya). Inilah penyembahan standar agama. Hal ini bukan berarti tidak boleh melandaskan pujian penyembahan pada berkat jasmani, tetapi itu bukanlah landasan primer, melainkan landasan sekunder.
Bukan landasan major, melainkan minor. Juga bukan berarti tidak boleh menggunakan sarana dan teknisnya. Kalau yang sekunder menjadi primer atau sebaliknya dan yang minor menjadi mayor atau sebaliknya maka berarti sebuah penyimpangan. Inilah yang terjadi dalam liturgi di lingkungan gereja dewasa ini. Ini bukan berarti yang teknis diabaikan. Kalau seseorang mengasihi dan menghormati Tuhan, maka ia akan memberi yang terbaik bagi Tuhan.
Teriring salam dan doa,
Dr. Erastus Sabdono
Tidak mungkin seseorang bisa menyembah Allah tanpa memiliki pengertian yang benar mengenai Dia.