Kehidupan yang menyenangkan Tuhan adalah satu pribadi agung yang kita bangun dalam diri kita, sesuai dengan pola-Nya. Dan ini sebenarnya adalah satu ‘permainan tingkat tinggi.’ Yaitu sebuah mekanisme perjuangan yang hebat, di mana Allah memberi kehendak bebas kepada masing-masing individu. Dan setiap individu menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih: apakah mengasihi dan menghormati Penciptanya serta selalu melakukan apa yang membuat Dia tersenyum atau tidak. Dan untuk menyenangkan hati Tuhan, kita tidak harus pergi ke sekolah Alkitab, tidak harus menjadi misionaris ke pedalaman—kecuali dipanggil untuk itu—tetapi di setiap kata yang kita ucapkan, setiap keputusan yang kita pilih, setiap tindakan dan perbuatan kita, benar-benar menyenangkan hati Tuhan.
Ayo, kita belajar serius. Kalau diibaratkan sebuah wilayah, ada bagian-bagian yang rusak di dalam hidup kita dan itu harus diperbaiki lewat sebuah proses yang serius untuk mencapai kesempurnaan. Tidak ada jalan mudah untuk mencapai kehidupan yang menyenangkan hati Bapa. Dan tidak ada cara yang cepat untuk mencapai hal ini. Justru disini letak keindah dan keelokannya. Ketika kita mencapai kehidupan yang menyenangkan hati Bapa yang begitu sulit, di situlah indahnya. Jadi, kita tidak akan menganggap murahan Allah Bapa dan Tuhan kita. Kalau kita bisa mencapai kehidupan yang menyenangkan hati Bapa dengan cara mudah, kita tidak akan menghargai keagungan hidup itu. Semua hal yang dapat diraih dengan mudah menjadi tidak berharga. Kalau dengan segenap hidup saja nyaris kita tidak bisa mencapai, apalagi kalau dengan setengah hidup. Dalam Lukas 14:31, Tuhan berkata, “Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang?”
Tuhan mau kita menyerahkan dulu semua yang ada pada kita, maka Tuhan akan melengkapinya. Memang bagi manusia sepertinya ini mustahil, bagi Allah tidak ada yang mustahil. Asal segenapnya kita berikan dahulu, baru Allah akan menolong kita. Ini bukan logika umum. Kita harus berjuang. Bukan hanya diucapan, “Tuhan, ubahkan aku.” Tidak! Kita harus mengubah diri kita sendiri dengan berjuang bagaimana mengalami perubahan lewat membaca Alkitab, lewat proses kejadian hidup setiap hari dan lewat duduk diam di kaki Tuhan. Bukan bermaksud seakan-akan dengan kekuatan sendiri kita bisa merubahnya. Tidak bisa! Tuhanlah yang merubah kita. Namun, kita harus memenuhi bagian kita. Sayangnya, banyak orang merasa bahwa secara otomatis atau dengan mudah orang bisa berubah. Hal itu bisa terjadi ketika orang tidak memberikan standar yang benar bagaimana menyenangkan hati Tuhan itu. Sebab standar menyenangkan Tuhan itu tinggi sekali.
Dalam hidup setiap hari—sebagai juru bicara dan duta Tuhan serta surat yang terbuka—kita harus berbicara bukan hanya lewat mulut, namun kelakuan kita pun berbicara. Kita adalah seumpama surat yang terbuka, akan tetapi bukan surat kita sendiri, melainkan surat Tuhan. Kalau kita mengerti hal ini, kita pasti akan sangat berhati-hati. Kita tidak ingin kelakuan kita menjadi batu sandungan. Kebahagiaan kita kalau orang tersentuh—bukan karena kita sengaja buat-buat begitu, tetapi berlangsung alami— dan benar-benar mengerti kemuliaan Tuhan saat melihat hidup kita. Ketika kita tulus menasihati, tulus memperhatikan, tulus membagi roti, tulus membagi harta kita, maka orang akan merasa bahwa ini tangan Tuhan lewat kita. Jadi, bukan sekadar kebaikan agar dipuji atau orang tersebut berutang budi lalu kita berharap mendapatkan balasannya. Tidak. Kita tidak menuntut pujian atau pengakuan, tidak menuntut balas, bahkan tidak menuntut ucapan terima kasih.
Sehingga, suatu kali kalau kita berbuat baik, lalu orang berkhianat kepada kita, kita tidak perlu sakit hati, karena kita bukan berbuat sesuatu untuk diri kita sendiri. Maka jika kita masih merasa sakit hati karena tidak mendapat balasan yang patut dari orang yang dahulu kita sayangi dan tolong, atau justru malah dijahati dengan kejahatan yang begitu rupa, berarti kita masih gagal dan belum sembuh total. Maka kita perlu berdekat dengan Sang Tabib agung, Tuhan Yesus Kristus, untuk belajar bagaimana menjadi seperti Dia. Dia sudah berbuat baik kepada Yudas, tetapi Yudas mengangkat tumitnya, menikam Tuhan Yesus. Dia sudah berbuat baik kepada masyarakat Yahudi, namun masyarakat Yahudi malah berteriak, “Salibkan Dia!” Dan apa balasan Tuhan? “Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”
Inilah kehidupan yang agung sebagai anak-anak Allah. Jadi, jangan kita marah waktu diproses Tuhan. Tuhan mempercantik manusia batiniah kita dengan segala masalah yang terjadi. Tuhan akan memilihkan untuk kita, bukan hanya sahabat-sahabat yang baik, namun Tuhan juga memilihkan musuh-musuh yang efektif untuk merubah hidup kita. Memang ada orang-orang yang kita jahati, sehingga akhirnya menjadi musuh. Dalam hal ini, kita yang membuat musuh, tentu kita yang bersalah. Akan tetapi kalau Tuhan mengizinkan kita bertemu musuh-musuh yang bukan karena salah kita, itu pasti pendewasaan. Dan itulah cara Tuhan membela umat-Nya.