Skip to content

Pembentukan Moralitas

 

Hidup keseharian kita menjadi media di mana kita diproses Tuhan untuk menjadi manusia sesuai dengan kehendak Allah. Sebagai hamba Tuhan, keberhasilan kita adalah ketika kita bisa mengentaskan jemaat dari manusia berkeadaan rusak menjadi manusia yang diperbaiki. Jadi bukan masalah mereka memberi sumbangan atau tidak. Mereka bahkan tidak kita tanya, apakah anggota yang terdaftar atau tidak. Karena yang penting adalah mereka menjadi manusia yang dilahirkan baru, sehingga nama mereka tertulis di dalam Kitab Kehidupan Anak Domba. 

Firman Tuhan mengatakan, “Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi.” Jadi kalau bicara soal kodrat ilahi juga jangan mistik. Ini tidak ditujukan atau tidak dikaitkan dengan supranatural-Nya Allah. Kita tidak akan menyentuh, karena itu bagian Bapa. Tetapi bicara soal kodrat, ini bicara soal moralitas Allah yang bisa kita kenakan. Jadi kalau kita berkodrat ilahi, bukan berarti kita memiliki unsur-unsur supranatural yang terkait dengan hal-hal mistik atau kekuatan di luar kemampuan manusia, melainkan terkait dengan moralitas Allah. Dan moralitas bisa dibentuk lewat perjalanan hidup; bukan diberikan secara mistis, melainkan proses. Itu hebat sekali.

Kita digilas, kita tidak membalas. Sifat ‘kebinatangan’ kita yang mau mencakar, tidak ada lagi. Itu berarti kodrat ilahi bertumbuh. Jadi yang masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah adalah mereka yang berkodrat ilahi. Maka, ini bukan sebuah hal yang untung-untungan atau spekulasi, namun suatu hal yang pasti. Banyak orang dalam kesibukan hidupnya, lupa bahwa suatu hari dia akan menutup mata. Dan Tuhan menuntut harga yang harus dibayar. Apa? Menjadi manusia. Kita diadakan jadi manusia supaya kita jadi manusia. Tubuh kita adalah manusia, tapi bagaimana dengan bagian dalam? Mestinya tubuh luar kita manusia, dalamnya karakter Tuhan, kodrat ilahi. 

Ironis, sangat sedikit orang yang memperkarakan hal ini. Bahkan mungkin orang yang rajin ke gereja, aktivis, bahkan pendeta, belum tentu serius mengurus dirinya dengan baik. Yang penting, jadi sarjana. Setelah sarjana, yang penting jadi magister. Setelah magister, menjadi doktor. Setelah doktor, mau jadi pimpinan. Bayangkan kalau manusia berpendidikan, manusia akademisi dengan posisi yang sentral, yang baik, yang bisa mengendalikan orang lain, tetapi belum jadi manusia Allah, belum berkodrat ilahi. Betapa ironisnya!

Tuhan akan membedakan gandum dan ilalang; domba dan kambing. Yang berkenan, akan bersama dengan Tuhan. Yang tidak berkenan di hadapan Allah akan dibuang. Dan jangan kita anggap remeh hal ini. Coba kita bayangkan hari-hari terakhir hidup kita; kalau kita menutup mata dan ternyata kita tidak membayar harga hidup untuk menjadi manusia, betapa kita ingin kembali hidup dan berjuang. Tapi waktu sudah tidak ada lagi. Seperti lima gadis bodoh yang tidak mendapat kesempatan masuk dalam pesta perjamuan. Jangan sombong! Jangan kita sibuk hanya untuk mencari nafkah. Mencari nafkah harus, mesti. Mengurus rumah tangga, harus, mesti. Tapi mengurus diri, lebih dari itu. 

Karena kalau kita tidak mengurus diri kita, maka kita tidak menjadi manusia sesuai standar Allah. Maka, tidak mungkin hidup rumah tangga kita berhasil. Kalaupun kita berhasil membesarkan anak-anak menjadi sarjana, dapat pekerjaan, dapat pasangan hidup dan lain-lain, namun kita tidak akan berhasil menggarami mereka masuk surga. Untuk apa? Tragis. Anak-anak yang cakap, punya keahlian, punya gelar, pulang dari luar negeri, tapi tidak mengenal Allah karena orang tuanya tidak pernah mewariskan kebenaran, yang suatu hari ketika dunia berakhir, dia pulang ke alam kekal dengan tangan kosong. Dan Tuhan berkata, “Enyah, kamu dari hadapan-Ku karena kamu tidak melakukan kehendak Bapa.” 

Hidup ini singkat. Mau seberapa orang sukses? Akan berakhir juga. Sukses hidup manusia adalah ketika dia menjadi manusia sesuai dengan standar Allah. Ini menyangkut nasib kekal kita. Jangan anggap sepele kekekalan. Mata hati kita kiranya dibuka untuk melihat hidup dari sudut pandang kekekalan. Karenanya, kita harus selalu merasa seperti orang sakit. Kita harus selalu merasa kita belum sempurna. Sebab bukan seberapa banyak ilmu tentang Tuhan di pikiran kita, tetapi temui Tuhan, dengar suara-Nya, rasakan respons Tuhan atas diri kita; sudah seberapa kita menjadi manusia yang berkenan di hadapan Tuhan. 

Dan Tuhan pasti berbicara. Jangan dengar bisikan Iblis yang mengatakan, “Tuhan tidak bicara. Tuhan tidak beri tahu. Kamu selamanya tidak akan mengerti kamu sudah berkenan atau tidak.” Tidak mungkin Tuhan tidak berbicara, kalau kita mencari Tuhan dan mempertanyakan keadaan kita di hadapan Allah. Karenanya, dari menit ke menit kita mesti memeriksa diri. Jangan membiarkan sekecil apa pun kesalahan yang kita lakukan tanpa pemberesan. Kalau kita menjadi manusia dengan standar seperti yang Allah kehendaki, pasti kita bisa menjadi saluran berkat bagi sesama.