Skip to content

Paket Hemat

 

Dalam kisah Abraham, suatu hari Abraham disuruh menghitung bintang, lalu Allah berkata, “Nanti anakmu sebanyak ini,” maka percayalah Abraham. Ketika Abraham sudah punya anak, Allah memerintahkan dia untuk menyembelih anaknya sebagai kurban bakaran. Tapi Kitab Suci berkata, “Abraham percaya bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang mati.” Padahal sebagai korban bakaran, pasti dipotong-potong, jadi tidak mungkin hidup lagi. Tapi itu percayanya Abraham, luar biasa. Allah itu bagi Abraham segalanya. Dia lebih mengasihi Allah, tidak mau menyakiti hati Allah. Dia lebih rela menyakiti dirinya sendiri dengan menyembelih anaknya. 

Pasti kita pernah mengalami keadaan di mana kita mencari kesibukan. Biasanya yang kita cari adalah kesibukan yang mendatangkan uang atau kesibukan yang mendatangkan kesenangan. Semua berpusat pada “aku.” Tapi kalau kita menjadi anak-anak Abraham, maka yang kita pikirkan adalah, “Apa yang kulakukan untuk menyenangkan hati Allah?” Jadi, dibenarkan karena iman itu bukan sekadar kita memercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, melainkan mempertaruhkan seluruh hidup kita untuk itu. Salahnya banyak orang, membaca kitab Roma tanpa melihat latar belakangnya. Tidak melihat konteks zaman. Jemaat Roma adalah orang yang hidupnya seperti telur di ujung tanduk; diburu-buru nyawanya oleh penguasa. Maka kalau dikatakan di Roma 8, “Kita lebih dari orang-orang menang,” kata “kita” itu menunjuk orang-orang percaya di Roma. 

Untuk kita hari ini, apa alasannya sehingga kita berkata bahwa kita lebih dari mereka? Kita dikatakan lebih dari orang-orang menang—walaupun secara materi, secara jasmaniah kita kurang—karena tidak ada yang bisa memisahkan kita dari kasih Kristus. Dan di Roma 8:17 dikatakan bahwa kita dimuliakan bersama-sama dengan Kristus di dalam Kerajaan Surga di kekekalan. Jadi kita dibenarkan karena iman itu, artinya kita dianggap, dinilai berkeadaan benar, karena kita berkeadaan seperti Yesus. Beriman kepada Yesus itu berarti hidup seperti Yesus hidup. Yesus berkata, “Kalau Aku Tuhan dan Gurumu, Aku mengalami penderitaan, kamu juga mengalaminya.” Seluruh hidup harus kita serahkan, sebab barulah di situ kita bertemu Tuhan. Namun, banyak orang Kristen yang memberikan untuk Tuhan hanya “paket hemat.” 

Maka, Yesus berkata di Lukas 14:33, “Barangsiapa tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, ia tak dapat jadi murid-Ku.” Seharusnya kita memberikan paket seluruh hidup di mana kita menjadikan Tuhan itu segalanya. Jadi seperti Abraham mempersembahkan anaknya Ishak, maka kita pun harus berani mempersembahkan apa pun untuk Tuhan. Dan hal itu harus kita lakukan waktu masih hidup. Hidup ini menjadi luar biasa kalau kita berani mempertaruhkan diri kita untuk berinteraksi dengan Allah di tengah dunia yang gelap ini. Maka kita harus berani mengambil posisi dengan segala harga yang harus kita bayar. Ibarat kita ikan, harus jadi ikan yang hidup. Kalau kita ikan yang mati, maka kita akan ikut asin, digarami oleh air laut. Tapi kalau kita hidup, walaupun sekitar kita airnya asin, kita tetap tawar.

Jangan sampai ketika kita menutup mata, kita masih belum dikategorikan Allah sebagai menjadikan Dia segalanya. Tuhan pasti merasa apakah kita menjadikan Tuhan segalanya atau tidak. Hari ini kita belum sempurna, tapi kita harus memaksa diri untuk menjadikan Dia segalanya. Maka, kobarkan cinta kita. Kita harus terbang setinggi-tingginya. Caranya? Pertama, Tuhan harus menjadi segalanya dalam hidup kita setiap hari. Yang kedua, tidak punya keinginan apa pun dan kesenangan apa pun. Kalau masih ada dosa dalam diri atau kesenangan tertentu yang Tuhan tidak berkenan, mari tinggalkan, supaya kita bisa terbang setinggi-tingginya. 

Setiap hari jadikan Dia segalanya dalam hidup kita, maka kita tidak takut mati, tidak takut menghadapi apa pun. Yang kita takuti hanya satu: berbuat dosa. Kalau kita melakukannya dengan sungguh-sungguh, maka Roh Kudus akan pimpin kita. Sejujurnya, ada masa-masa di mana Tuhan tidak menjadi gairah hidup kita karena ada peluang menikmati berbagai kesenangan. Mari kita kembali ke Tuhan. Jangan merasa hebat karena kita pendeta atau doktor teologi, tapi biarlah kita tetap rendah hati. Jangan mencari perlindungan Tuhan hanya pada waktu kepepet. Teruslah melekat kepada Tuhan seakan-akan ada bencana besar di depan. Berlindunglah terus ke Tuhan. Ini juga memicu kita menjadikan Tuhan segalanya.