Banyak orang malang, tapi orang yang paling malang adalah orang yang tidak tahu bahwa dia malang. Seperti jemaat Laodikia di Wahyu 3:17-18, “Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang, maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli daripada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.”
Kata ‘melarat’ berasal dari bahasa Yunani talaiporos (ταλαίπωρος). Melarat berbeda dengan miskin, yang dalam bahasa Yunani adalah ptochos (ptwcov). Paulus menasihati jemaat di Laodikia untuk membeli emas, yang berarti harus ada pertaruhan. Sebagaimana dalam tulisan Paulus yang lain, “Aku lepaskan semua supaya aku memperoleh Kristus.” Ada barter. Jadi, tidak bisa hanya; “Allah telah menentukan aku diselamatkan, maka bagaimanapun aku pasti selamat. Sekali selamat, tetap selamat”. Kalimat itu tidak sepenuhnya salah, tapi kita mengerti dulu, selamat itu apa? Yang bagaimana? Dan benarkah kita sudah selamat? Ini adalah misteri kehidupan. Jadi dalam hal ini, kita tidak bisa dan tidak boleh menghakimi orang lain.
Sebagaimana kalau seorang wanita berkata dalam ibadah pemberkatan nikah, “Aku menerima engkau sebagai suamiku.” Apakah berarti dia sudah menerima pria itu sebagai suami? Hal ini harus dibuktikan dalam hidup pernikahannya. Namun orang-orang yang bengkok hati, yang tidak lurus, tidak jujur, tidak akan mengenali dirinya. Kalau di gereja kadang worship leader meminta jemaat untuk mengatakan kepada orang di sebelahnya, “Engkau luar biasa!” Apakah itu salah? Bisa ya, bisa tidak. Ya, kita luar biasa karena kita adalah anak-anak Allah. Tapi yang luar biasa adalah Allah, bukan kita. Anak konglomerat luar biasa, tapi jangan lupa, bapaknya yang kaya. Di mana dulu sang bapak pernah miskin, lalu dia berjuang dan 15 tahun kemudian menjadi tuan tanah. Luar biasa. Tapi sekarang anaknya bangun pukul 11 siang, tidak kerja, hanya makan, minum dan main. Apakah luar biasa? Tidak, yang luar biasa adalah bapaknya.
Jadi masalahnya, sebagai anak-anak Allah apakah kita belajar dari Bapa di surga? Tuhan Yesus berkata, “belajar pada-Ku.” Kita harus punya keunggulan. Karena itu, siapa yang percaya dan menerima-Nya, diberi kuasa. Kata “kuasa” dalam ayat itu bukan dunamis, melainkan eksosia. Arti Exousia (ἐξουσία) bukan power, melainkan lebih kepada right (hak). Tuhan pelihara kita, menjaga kita, dan memberi kita Roh Kudus dan firman, bahkan Ia bekerja dalam segala sesuatu mendatangkan kebaikan, tetapi jika semua fasilitas ini kita sia-siakan, maka kita akan disamakan dengan orang-orang kafir yang dibuang dalam lautan api. Sebab mereka adalah orang-orang Kristen yang tidak menyadari kemiskinannya.
Jadi Kristen itu luar biasa, dahsyat, pemenang, pokoknya VIP. Itu memang tidak salah, namun jangan berhenti sampai di situ. Sebab, kita dipanggil untuk belajar, untuk menjadi anak-anak Allah. Jangan kulitnya Kristen, dalamnya bukan Kristen. Kulitnya anak-anak Allah, dalamnya masih anak setan; karena karakter setan yang telah mengakar dalam dirinya selama puluhan tahun belum diubah. Maka perlu pembaruan firman, sehingga orang mengerti kehendak Tuhan, apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna. Jadi ketika Tuhan berkata, “… supaya engkau membeli daripada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat,” berarti ada barter.
Dalam konteks ini, emas adalah kebenaran Tuhan, sedangkan minyak itu pengertian yang melumas mata, sehingga mengenal kebenaran. Pakaian itu pasti kekudusan. Jadi harus ada usaha untuk keluar dari keadaan kita yang buruk, supaya kita mendandani manusia roh. Seperti kata Paulus, “manusia lahiriahku semakin merosot, tapi batiniahku dibaharui dari hari ke hari.” Dan kekristenan harus seperti itu, memperbarui manusia batiniah kita ini. Implikasinya, manusia harus dikembalikan ke gambar Allah semula dan dia harus memiliki moral Tuhan.