Keberagamaan itu sebenarnya bukan hanya masalah liturgi atau upacara agama seperti yang dikenal oleh agama-agama pada umumnya, melainkan ada ruangan perjumpaan antara umat dengan Allah yang disembah, di dalam yang namanya liturgi. Bagi kita, orang Kristen, keberagamaan yang benar adalah berurusan dengan Sang Khalik; Allah yang menciptakan langit dan bumi. Dan itu sangat dahsyat. Masalahnya, memang tidak banyak orang yang berani menaruh percaya kepada Allah yang tidak kelihatan, yang berani menginvestasikan seluruh hidupnya untuk urusan berinteraksi dengan Allah. Lagipula kalau kita melihat manusia di sekitar kita, hampir-hampir tidak ada orang yang benar-benar menaruh percaya kepada Allah yang tidak kelihatan ini.
Dan kenyataannya, memang Allah tidak menyatakan diri kepada banyak orang. Hampir-hampir tidak ada orang yang sungguh-sungguh mengalami penyataan Allah di dalam hidupnya. Sebab, orang yang mengalami penyataan Allah, yang bisa berjalan dengan Tuhan, adalah orang yang sungguh-sungguh menjadikan Tuhan itu segalanya dalam hidup ini. Siapa orang yang berani bertaruh demikian, yang menjadikan Tuhan segalanya dalam hidupnya? Menjadikan Tuhan segalanya dalam hidup, artinya Tuhan menjadi tujuan satu-satunya, kebahagiaan satu-satunya, harta kekayaan satu-satunya, objek pengabdian, penyembahan satu-satunya.
Tetapi harus diberi catatan, bahwa Tuhan itu tidak egois, Ia tidak merampas hidup kita sehingga kita tidak memiliki kebahagiaan atau kesenangan. Kita manusia, kita bukan hewan atau makhluk ciptaan yang lain. Kita manusia yang membutuhkan bersosialisasi dengan manusia lain, yang bisa menikmati seni, yang membutuhkan istirahat, yang membutuhkan teman hidup. Sebab, manusia tidak baik seorang diri. Manusia yang bisa memiliki keturunan dan memiliki hubungan mesra dengan keluarga, dan seterusnya. Tentu Tuhan tahu hal itu. Tetapi bagi orang yang menjadikan Tuhan segalanya, sekalipun Tuhan tidak memberikan semua itu kepadanya, dia tidak akan menuntut.
Abraham menjadikan Allah segalanya dalam hidup ini. Memang tidak tersurat di dalam Alkitab, tetapi tindakan Abraham, perilakunya, dinamika hidupnya menunjukkan bahwa Abraham menjadikan Tuhan segalanya. Yang kemudian, kita sebagai anak-anak Abraham secara iman, mesti memiliki iman seperti Abraham. Jadi pengertian kalimat “dibenarkan oleh iman” itu tidak sederhana. Selama ini begitu disederhanakan, “dibenarkan oleh iman” itu artinya bukan karena perbuatan baik, maka orang selamat masuk surga, melainkan karena percaya Yesus adalah Tuhan dan Juru Selamat, maka dibenarkan. Orang yang dibenarkan adalah orang yang menjadikan Tuhan segalanya dalam hidup, menjadi manusia yang berkualitas, yang layak masuk istana Allah Bapa.
Roma 3:28 mencatat, “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena melakukan hukum Taurat.” Roma 4:2, “Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah.” Tentu pengertian ‘perbuatan’ di sini adalah perbuatan berdasarkan Taurat. Kehidupan Abraham tidak berdasarkan Taurat. Gaya hidup Abraham adalah gaya hidup yang tidak dikenal oleh bangsa Israel. Sebab, bangsa Israel dipandu oleh hukum Taurat. Dan apa yang dilakukan oleh bangsa Israel berdasarkan hukum Taurat itu merupakan usaha untuk dibenarkan. Lalu Paulus menulis bahwa dibenarkan itu bukan karena melakukan hukum Taurat, melainkan karena iman.
Kita tentu ingat bagaimana Zakheus memberi separuh hartanya kepada orang miskin dan sekiranya ada orang pernah dia peras, dia kembalikan empat kali lipat. Otomatis dia bisa menjadi miskin. Tetapi Yesus berkata, “Keselamatan terjadi atas rumah ini, karena dia juga adalah anak Abraham.” Tindakan Zakheus tersebut adalah tindakan yang menunjukkan bahwa Tuhan segalanya di dalam hidupnya. Dalam kitab Yakobus, kita menemukan lagi kalimat “Abraham dibenarkan bukan karena imannya, tapi karena perbuatan.” Sejujurnya, hal itu bisa mengacaukan pikiran kita kalau kita tidak melihat konteksnya. Abraham dibenarkan bukan karena sekadar meyakini sesuatu, namun karena melakukan sesuatu berdasarkan yang dia yakini. Hidup Abraham dirampas, direnggut oleh ketaatan dan kepatuhannya kepada Allah. Abraham harus keluar dari Ur-Kasdim, ke negeri yang Allah akan tunjukkan. Dan Abraham pergi.
Ketika ada masa paceklik, Abraham tidak pulang ke Ur-Kasdim. Dia lebih memilih ke Mesir, di mana dia harus mempertaruhkan nyawanya dan nyawa istrinya. Tapi dia lebih taat kepada Allah daripada menyelamatkan keluarganya. Abraham akan memiliki anak, menurut janji Allah, sebanyak bintang di langit dan pasir di laut. Tetapi Abraham harus menunggunya selama seperempat abad, dan ia tidak meragukan Allah. Ketika Abraham sudah punya anak, lalu Allah memerintahkan dia untuk menyembelih anaknya sebagai korban bakaran. Kitab suci berkata, “Abraham percaya bahwa Allah berkuasa membangkitkan orang mati.” Padahal sebagai korban bakaran, anaknya harus dipotong-potong, berarti tidak mungkin hidup lagi. Tapi percayanya Abraham, luar biasa. Allah itu bagi Abraham segalanya. Ingat, iman Abraham harus kita miliki. Artinya, bahwa kita harus menjadikan Tuhan segalanya. Siapkah kita?