Kita semua tahu bahwa nilai jiwa manusia itu sangat tinggi. Di dalam Matius 16:26, Yesus mengemukakan bahwa nilai harta seluruh dunia tidak lebih dari nilai satu jiwa manusia. Artinya, jiwa itu sangat berharga. Oleh sebab itu, jiwa harus masuk surga. Berapa pun nilai pengorbanan yang harus dilakukan, harus kita lakukan. Oleh sebab itu, demi keselamatan satu jiwa, mestinya kita berani mempertaruhkan berapa pun harganya. Karena seberapa banyak uang yang kita miliki, seberapa banyak harta yang kita pertaruhkan untuk keselamatan satu jiwa, tidak ada nilainya apa-apa. Mestinya dengan kenyataan ini—bahwa nilai jiwa manusia itu lebih dari seluruh kekayaan dunia—kita berani mempertaruhkan maksimal apa pun yang kita miliki.
Hal ini sudah dilakukan oleh Tuhan kita, Yesus Kristus yang menyerahkan nyawa-Nya, dan yang didahului dengan penderitaan yang begitu hebat, demi keselamatan jiwa kita. Kemudian Tuhan Yesus berkata di Yohanes 20:21, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, Aku mengutus kamu.” Ini sebenarnya sama dengan kalimat: “Sebagaimana Aku memperjuangkan keselamatan jiwa-jiwa, maka sekarang kamu perjuangkan keselamatan mereka. Sekarang Aku naik ke surga, kamu yang harus meneruskan karya keselamatan ini sampai ke ujung bumi.” Mestinya kita memahami ini sebagai kehormatan. Sebab kalau kita sungguh-sungguh memperjuangkan hal ini, seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus—mempersembahkan hidup kita tanpa batas untuk pelayanan pekerjaan Tuhan demi keselamatan jiwa-jiwa—maka kita akan menerima kemuliaan yang juga diterima oleh Yesus.
Jadi kalau kita mau berkualifikasi seperti Yesus yang menderita, maka kita juga harus melakukan apa yang Yesus lakukan; “Serigala memiliki liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Betapa rindu kita bisa menerapkan kebenaran ini dalam hidup kita. Pola, gaya hidup yang dikenakan oleh Yesus adalah pola dan gaya hidup yang juga kita kenakan. Betapa indahnya kehidupan seperti ini. Tetapi kita tidak akan bisa menikmati kenikmatan yang dimiliki Tuhan Yesus, atau kita tidak bisa menerima kemuliaan yang diterima Yesus, kalau kita tidak menderita bersama-sama dengan Dia. Betapa banyak orang Kristen yang memandang mengikut Yesus itu gampang dan murahan. Yesus sendiri tidak akan memiliki mahkota tanpa salib. Karena ketaatan-Nya sampai mati di kayu salib, Ia diberi nama di atas segala nama, dan setiap lutut bertelut dan setiap lidah mengaku Yesus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah. Jadi, kita harus menemukan salib itu.
Apa yang Yesus miliki? Ia tidak memiliki apa-apa, sebab yang ada pada-Nya semua dipersembahkan untuk keselamatan jiwa. Mestinya ini kita pandang sebagai kehormatan, bukan sebagai beban dan kewajiban. Mungkin masih banyak orang yang belum mampu memahami hal ini dengan lengkap atau utuh. Frekuensi rohaninya masih tertinggal, karena mereka sudah terlalu biasa hidup dalam dinamika hidup untuk diri sendiri. Mereka tidak memiliki dinamika hidup sebagai anak-anak Allah yang orientasinya adalah kekekalan. Sehingga mereka tidak memahami betapa hebat kebenaran firman Tuhan. Sebagian besar kita menganggap hidup ini gratis, padahal hidup ini ada harganya. Sebab Tuhan memberi kita kehidupan, bahkan keselamatan yang di dalamnya ada tanggung jawab.
Kalau kita sudah memiliki keselamatan jiwa, yaitu proses dikembalikan ke rancangan Allah semula, maka kita bisa menghayati betapa indahnya persekutuan dengan Allah. Tetapi di lain pihak, betapa mengerikannya terpisah dari hadirat Allah. Maka kita pasti mulai melihat orang di sekitar dan kita mulai berpikir bagaimana menyelamatkan mereka. Namun sebaliknya, kalau kita sendiri tidak dalam proses dikembalikan ke rancangan Allah semula, maka kita pasti tidak menghayati betapa indahnya persekutuan dengan Tuhan, juga tidak menghayati betapa mengerikannya terpisah dari hadirat Allah, maka kita tidak berani mempertaruhkan hidup untuk keselamatan jiwa orang lain. Dalam hal ini, betapa mengerikannya sekolah-sekolah teologi yang hanya mendidik mahasiswanya bernalar, berlogika mengenai Tuhan, tapi tidak menghayati kehidupan keselamatan sehingga sekolah seperti itu hanya melahirkan karyawan-karyawan gereja, bukan hamba-hamba Tuhan yang mempertaruhkan hidup tanpa batas bagi pekerjaan-Nya.
Mestinya apa pun yang kita kerjakan, kita kerjakan untuk pekerjaan Tuhan, yaitu penyelamatan jiwa-jiwa lewat berbagai bidang hidup di mana Tuhan meletakkan kita berperan di situ. Tetapi ingat, yang penting bagaimana kita berproses dulu, bertumbuh menjadi anak-anak Allah yang berkenan, bisa merasakan indahnya persekutuan dengan Tuhan, tapi juga bisa mengerti betapa dahsyat, mengerikan jika seseorang terpisah dari hadirat Allah. Mari kita belajar terus berproses untuk benar-benar menjadi manusia Allah; man of God, mengenakan firman, dipenuhi Allah.