1 Petrus 1:24-25, “Sebab: “Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk selama-lamanya.” Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu.”
Mari kita merenungkan satu realitas yang tragis yang mestinya hal itu bisa mendahsyatkan jiwa kita, yaitu kenyataan manusia yang datang dan pergi, silih berganti. Coba ingat, orang-orang yang dulu pernah kita kenal, yang sekarang sudah meninggal dunia; kakek, nenek, orang tua, saudara, teman. Di sisi lain, hadir yang baru; anak, cucu, saudara, teman. Termasuk juga orang-orang yang dulu pernah popular; artis, atlet, politisi atau pengusaha. Yang pernah hidup sekarang telah tiada. Lalu muncul lagi atlet baru, artis baru, politisi baru, dan mereka pun akan mengalami keadaan atau nasib yang sama. Dan kita, pasti salah satu di antaranya.
Semua yang hidup adalah seperti rumput. Jangan kita pandang ini berlebihan. Dari kacamata Tuhan, itu seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga rumput, menjadi kering dan bunga gugur. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikatakan TUHAN di Kejadian 2, “Jangan makan buah ini, sebab pada hari kamu memakannya, kamu akan mati.” Memang, pada hari manusia makan buah itu, mereka mulai mengalami proses kematian. Kenyataan ini mestinya membuat kita tidak sombong dan membuat kita menengadah kepada Tuhan.
Kita seperti manusia lain, datang dan pergi. Tetapi masalahnya, kita pergi ke mana? Ini yang harus sungguh-sungguh kita pikirkan. Ini bukan karena kita orang beragama atau karena kita orang Kristen, tetapi karena kita adalah manusia yang Alkitab katakan seperti rumput yang pagi mekar, sore sudah dibuang. Mari sungguh-sungguh kita renungkan dan camkan agar kita bisa bersikap rendah hati di hadapan Allah. Kalau dalam Yakobus dikatakan, “… seperti uap…” Ketika seorang di ujung maut, dan dia menatap hari-hari yang telah dilalui, maka dia baru bisa menyadari bahwa hidup benar-benar seperti uap. Sekarang saja, kalau kita melihat anak-anak kita, rasanya baru kemarin kita gendong dan antar sekolah, sekarang mereka sudah remaja, ada yang sudah jadi pemuda. Bahkan, ada yang sudah menikah dan mempunyai anak.
Kalau kita tidak disadarkan dengan Firman Tuhan ini, kita bisa hanyut dalam mimpi; mimpi bodoh. Kita merasa, seakan-akan jalan ini tidak berujung. Bangun pagi, melakukan aktivitas, pulang sore atau malam, makan bersama keluarga, beraktivitas sebelum akhirnya tidur. Besoknya terulang begitu lagi. Kita tergulung dalam suatu siklus yang seakan-akan siklus atau perputaran hidup tersebut tidak berujung. Setan membuat manusia tergulung dalam siklus tersebut dengan pemikiran seakan-akan, dia tidak memiliki ujung perjalanan hidup.
Pemazmur mengatakan dalam Mazmur 90:10, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Di ayat 12, ia melanjutkan, “Ajar kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Sebab kalau kita tidak menghitung hari, maka kita akan terhanyut dalam siklus hidup. Kita menjadi tidak bijaksana, menjadi ceroboh, sembarangan dengan apa yang kita ucapkan, lakukan, dan pikirkan. Seakan-akan jalan ini tidak ada ujungnya.
Di Lukas 12, kita menemukan potret dari orang yang dia pikir jalan ini tidak ada ujungnya. Seorang kaya yang tidak puas dengan harta yang dia miliki. Ia mau merombak lumbung-lumbungnya untuk mendirikan yang lebih besar, dan menyimpannya di dalamnya segala gandum dan barang-barangnya. Lalu dia berkata, “Hai jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” Pertanyaannya, sampai kapan?
Padahal selanjutnya dikatakan, “… firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?” Menarik di sini ada kata, “… pada malam ini…” Malam menunjuk kegelapan. Ini bisa berarti keadaan yang tidak dia duga, pada waktu dia tidur, di luar sadarnya. Malam juga bisa menunjukkan ketidaktahuan karena kebodohan. Maka, kita jangan bodoh. Kita harus bijaksana.
Ingat, hidup ini datang silih berganti dan kita salah satunya. Pasti mati. Jangan menjadi bodoh dan memiliki mimpi bodoh. Jangan berpikir seakan-akan jalan ini tidak ada ujungnya. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan. Maka, kita harus mencari tangan yang kuat yang bisa menopang kita. Menopang hidup kita di bumi ini, juga menopang hidup kita di balik kubur. Karenanya, kita dengan tulus berkata: “Pegang tanganku, Tuhan.” Tuhan pasti akan memegang kita yang selalu hidup dalam hadirat-Nya.
Jangan menjadi bodoh dan memiliki mimpi bodoh
dengan berpikir seakan-akan jalan ini tidak ada ujungnya.