Pertanyaan yang sering terabaikan namun sejatinya sangat penting, mengapa kita tidak sadar terhadap kesalahan yang masih kita lakukan? Mengapa kita tidak sadar terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, bahkan bisa menghambat pekerjaan Tuhan? Mengapa kita tidak bertumbuh semakin cemerlang? Sering kali kita masih gagal rendah hati, senang dipuji, menikmati kedudukan karena ada kehormatan. Mestinya kita menikmati kedudukan karena ada tanggung jawab dan pengabdian. Mengapa kita tidak belajar mereset hidup kita di hadapan Tuhan? Kita harus memberi diri untuk direset oleh Tuhan. Jadi ketika kita ada di hadapan Tuhan, kita benar-benar membawa diri kita pada ‘titik nol’ (titik nadir). Benar-benar kita mau mengosongkan diri; tidak merasa punya ilmu teologi, tidak merasa punya prestasi dalam pelayanan, tidak merasa punya kebaikan, tapi nol! Jika tidak, kita sombong tanpa kita sadari.
Sementara jemaat yang merasa diri kecil, tidak pandai berteologi, mereka lebih mudah mereset diri setiap hari di hadapan Tuhan. Sebaliknya, para pendetalah yang sulit. Maka kita harus mulai dari nol, starting from zero! Setiap hari kita mereset hati. Bagaimana kita bisa berkata, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24). Kalau kita datang dan berdoa di kaki Tuhan dengan hati yang seperti batu, tidak remuk, bagaimana Tuhan mau periksa dan selidiki kita? Bagaimana kita bisa diubah? Tahukah bahwa setiap hari kita masih bisa menemukan kesalahan kita kalau kita rendah hati dan meresetnya? Tapi kalau kita hanya berkata, “Ampuni dosa-dosaku,” tidak jelas dosa yang mana, malah nanti kesombongan yang ada.
Maka kita bisa lihat, ada orang-orang yang dulunya rendah hati, orang baik, namun ketika ia jadi hamba Tuhan, malah jadi rusak karena dia sudah tidak mereset diri lagi, padahal masih banyak kedagingannya yang belum mati total. Jangan sombong, reset terus setiap hari, sehingga Tuhan bisa merancang ulang. Orang yang tidak mereset diri tidak mungkin bisa mendengar suara Tuhan. Namun kalau ada orang seperti itu di sekitar kita, kita genggam, kita ubah. Kita tidak punya kepentingan selain mewakili Tuhan Yesus yang menggenggam Yudas. Diharapkan Yudas jadi Paulus, Yudas jadi Petrus, maka kita rawat baik-baik.
Dunia kita hari ini adalah dunia yang harus menghadirkan Allah, sebab kalau tidak, manusia tidak berubah. Salah satu ciri manusia akhir zaman adalah tidak tahu berterima kasih, berkhianat (2 Tim. 3:1-5). Sebagian besar kita harus menghapus gen lama kita yang buruk, pengalaman masa lalu kita yang membentuk kita. Kita belum selesai dengan diri sendiri. Karena kita orang terluka yang belum sembuh, maka kita cenderung melukai orang lain. Namun kalau kita mereset hidup setiap hari, pasti Tuhan perbaiki. Tapi ini misterinya, kalau orang tidak rendah hati, tidak bisa diubah Tuhan. Maka jangan merasa punya sesuatu, reset hidup kita setiap hari. Yang melakukan ini saja masih bisa gagal; reset pagi hari, siangnya tersinggung, apalagi yang tidak.
Kalau kita merenung kembali hidup kita, bahwa kita ini bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, bahkan kalau ingat siapa kita dulu, mestinya hari ini kita dipenjara atau jadi tukang parkir liar, tidur depan rumah orang, namun ternyata tidak. Sungguh, kita akan sangat berterima kasih kepada Tuhan. Kita mau direset, supaya tidak sombong. Ingat, hidup ini singkat dan tragis. Jadi, mari kita cari kekekalan; hidup sesuci-sucinya, sekudus-kudusnya, jangan punya keinginan yang Tuhan tidak berkenan atau hobi-hobi yang hanya untuk menyenangkan diri sendiri, tapi bunuhlah kedagingan kita. Dan kita hidup hanya untuk kesukaan Tuhan. Kita harus melekat dengan Tuhan. Setiap kita belum sempurna, tapi kita mau sempurna. Jangan hidup dalam kepura-puraan, hanya supaya tidak ketahuan dosanya, tapi mari kita tunjukkan bahwa kita serius mau hidup suci!