Banyak orang Kristen yang memiliki kepribadian yang bertanggung jawab; tidak ceroboh atau tidak sembarangan. Biasanya orang yang bertanggung jawab itu tidak ceroboh dan tidak suka dengan orang ceroboh. Tahukah kita siapa orang yang paling ceroboh dalam hidup ini? Orang yang paling ceroboh dalam hidup ini adalah orang yang menganggap kekekalan bukan hal utama. Orang yang ceroboh atau paling ceroboh dan paling membahayakan hidupnya sendiri adalah orang yang menganggap remeh kekekalan. Rata-rata manusia menganggap remeh kekekalan, dan ini sebenarnya suatu kebodohan fatal. Tetapi filosofi hidup yang dimiliki manusia pada umumnya atau hampir semua manusia adalah “mari kita makan dan minum sebab besok kita mati,” seperti yang dikemukakan oleh Paulus di dalam suratnya.
Sudah terpatri di dalam pikiran dan dihayati di dalam hati bahwa seakan-akan kesempatan hidup itu hanya sekali di bumi ini. Dan itu dijiwai sejak kecil. Karenanya, apa yang dapat membahagiakan dan menyenangkan hatinya, itu yang diburu, dicari untuk dimiliki, dan berharap ia dapat menikmati hidup semaksimal mungkin. Sebab, tidak ada lagi kehidupan lain selain hidup hari ini. Waktu kecil, kesukaannya mobil-mobilan; bagi perempuan, boneka. Kemudian besar sedikit, kalau perempuan, pasar-pasaran; bagi laki-laki, sepeda mini. Meningkat waktu remaja, kesukaannya motor. Lalu menjelang pemuda, kalau ada dalam keluarga yang mampu, mulai memiliki mobil sambil menambah aksesorisnya. Dan seterusnya. Bukan tidak boleh, tetapi jangan kita mengikuti fokus hidup manusia yang umumnya pada perkara-perkara fana.
Orang yang tidak menghargai kekekalan, orang yang menganggap remeh kekekalan tidak mungkin menghormati Tuhan. Tidak mungkin. Kalaupun dia ke gereja, dia memuji, menyembah Tuhan, dia tidak memberikan penghormatan yang proporsional kepada Allah. Tidak mungkin hari-harinya mencari Tuhan, mencari hadirat Tuhan atau wajah Tuhan. Baginya, hadirat Tuhan dan wajah Tuhan itu asing, sampai tidak pernah mengenali apa itu hadirat Tuhan. Yang dia tahu hanya suasana liturgi. Pada dasarnya, orang-orang seperti ini tidak membutuhkan Tuhan, tetapi membutuhkan pertolongan-Nya jika dalam kesulitan, dan berkat-Nya untuk usaha dan bisnis. Dan ironisnya, gereja melegalisir kebenaran itu atau membenarkan. Sehingga, banyak orang Kristen hidup dalam kebodohan. Tuhan disuap dengan pujian dan penyembahan.
Dan memang Alkitab berkata bahwa Tuhan bertakhta di atas pujian, tapi kita harus perkarakan: pujian siapa? Tuhan menikmati pujian dari orang yang mengasihi dan menghormati-Nya, bukan orang sembarangan, yang hanya bisa menyanyi. Kadang-kadang menyanyi saja juga tidak bisa. Menyembah juga tidak mengerti, tapi ada di dalam ruangan gereja, sehingga dia merasa bahwa dia sudah memberikan semacam partisipasi untuk Tuhan. Dan yang mengerikan, Tuhan diam, seakan-akan tidak terganggu dengan perilaku mereka. Ironisnya, pendeta juga tidak terganggu. Pertanyaan untuk setiap kita: apakah kita benar-benar gentar terhadap kekekalan? Sejujurnya, jangan-jangan tidak, karena dunia sudah terlalu mendistraksi, merusak kita.
Sebenarnya, ini kondisi kritis. Jika kita biarkan, maka sebentar lagi kita terbenam dalam gelap gulita, dan memadamkan Roh. Dan jika sampai tingkat itu, kita tidak bisa selamat; tidak layak masuk ke dalam istana Bapa di surga. Kita tidak pernah memikirkan bahwa di balik kematian, ada kekekalan. Tragis, hidup orang yang tidak menghargai kekekalan ini. Ketergangguan perasaan Tuhan diberikan ke hamba-hamba Tuhan yang benar, supaya mereka memiliki sense of crisis terhadap jiwa-jiwa, dan supaya mereka hidup benar; tidak memikirkan uang atau cari kedudukan, tapi punya keseriusan untuk menyelamatkan jiwa. Dan sebelum dia menyelamatkan jiwa, dia harus menyelamatkan dirinya sendiri. Dia harus benar dulu, dia juga harus gentar dulu terhadap kekekalan.
Jadi, sadarlah, selidiki apakah kita benar-benar memiliki kegentaran terhadap kekekalan. Jangan kita anggap remeh. Sebab jika kita tidak sungguh-sungguh mencari wajah Tuhan, tidak mungkin kita menghormati Tuhan. Kalau kita tidak berubah, tinggal tunggu waktu, maka kita akan gemetar di hadapan Tuhan. Kalau kita gentar terhadap kekekalan, maka kita akan berusaha bersahabat dengan Tuhan seakrab-akrabnya, seintim-intimnya. Dan orang yang mau bersahabat dengan Tuhan seakrab-akrabnya, seintim-intimnya pasti akan berusaha hidup kudus, berusaha hidup tidak bercela, berusaha tidak melukai orang, berusaha jujur dalam segala hal.
Jadi kalau Tuhan hari ini datang atau dunia ini kiamat—entah karena perang atau bencana—apakah kita yakin bahwa kita pasti masuk Rumah Bapa? Apakah selama ini kita sudah menghormati Tuhan dengan sepantasnya? Ingat, firman Tuhan mengatakan, “Terkutuklah orang yang tidak mengasihi Tuhan.”