Skip to content

Merebut Hati untuk Tuhan

 

Kita harus selalu ingat bahwa Allah kita yang hadir menyertai kita di dalam dan melalui Roh Kudus adalah Allah yang lemah lembut yang tidak memaksa kita berbuat sesuatu atas apa yang Dia kehendaki, perintahkan, atau yang Dia ingini. Allah tidak memaksa, tetapi tentu kita tahu bahwa kitalah yang harus bertindak, mengambil keputusan. Ada satu hal yang harus kita lakukan yang itu tidak dilakukan oleh Allah karena Allah melanggar tatanan-Nya jika melakukan hal itu. Dan Allah menghendaki kita melakukannya tanpa terpaksa, tanpa dipaksa. Hal itu adalah merebut hati untuk Tuhan. Hati siapa yang direbut? Hati kita sendiri. Jadi kita harus merebut hati kita sendiri untuk Tuhan. 

Dan sesungguhnya itu bukan sesuatu yang mudah, karena hati kita telah diisi oleh banyak hal dari dunia, sehingga hati kita tanpa kita sadari telah dimiliki oleh dunia. Sebab kepada siapa atau kepada apa hati kita tertarik, maka dialah yang memiliki hati kita. Dunia dapat dilihat oleh mata, juga dapat disentuh, dan dapat dirasa oleh panca indra kita, tapi Allah tidak. Dari kecil, tanpa disadari, melalui proses bertahap, dunia menyuntikkan berbagai keinginan dan hasrat di dalam pikiran kita sehingga dunia menjadi menarik di mata kita, mempesona, dan kita mengingininya. Ada yang sudah memperoleh, ada yang belum. Yang sudah memperoleh akan lebih sukar masuk surga, namun yang belum memperoleh bukan berarti tidak sukar, bisa sukar jika hatinya tetap diarahkan kepada dunia ini.

Kita harus merebut hati kita untuk Tuhan dan Tuhan tidak memaksa. Allah yang cemburu, seperti yang dikatakan dalam firman Tuhan, adalah Allah yang menghendaki agar hati kita kita rebut dan kita peruntukkan bagi Allah. Jika hal itu terjadi, maka barulah Tuhan menjadi satu-satunya yang mempesona kita, satu-satunya yang menarik, satu-satunya yang memikat, dan tentu mengikat hati kita. Masalahnya, dunia telah menjadi sesuatu yang menarik, memikat, mempesona, dan di dalam hal ini ada selera yang terbangun untuk memiliki dan menikmati dunia. Seorang Kristen yang rajin ke gereja, aktivis, bahkan pendeta belum tentu sudah lulus dalam arti melepaskan semua ketertarikan dan seleranya terhadap dunia. Banyak orang hanya karena tidak kebagian saja atau tidak berhasil meraih, padahal sejatinya masih memiliki harapan atau keinginan untuk memiliki dunia ini. 

Kalau dunia masih mempesona—berupa barang, kedudukan, atau apa pun—betapa berbahayanya, terutama bagi para hamba Tuhan. Sebab khotbah-khotbahnya pasti tidak akan memancarkan kecintaan yang tulus dan kuat kepada Tuhan. Seseorang bisa bicara apa saja, tapi spirit yang mengalir dari perkataan dan sikapnya tidak bisa menipu. Jadi kita sendiri yang harus menanggalkan, melepaskan semua ketertarikan itu. Jika pikiran seorang hamba Tuhan tidak diisi dengan perkara rohani, mau bicara apa di mimbar? Jadi kalau sudah menjadi seorang pembicara, pikirannya harus bersih dari input apa pun. Kalau ada sesuatu yang perlu kita dengar atau perlu kita lihat, Tuhan akan atur caranya sampai kita bisa melihat atau mendengar, tapi kita tidak usah mencari-cari. Kita harus berani mengosongkan bejana hati kita, sebab kalau tidak, pasti akan ada agenda dalam pelayanan.

Jangan memasukkan hal-hal yang tidak perlu ke dalam pikiran kita supaya suara Tuhan dapat lebih jelas kita dengar. Sebab kalau kita masih punya keinginan-keinginan dan ketertarikan-ketertarikan terhadap dunia, maka kita tidak bisa terbang tinggi. Ketika kita di hadapan Tuhan, masih ada noda-noda bau busuk itu. Maka kita harus berani berkata, “Aku bersedia, Tuhan, tidak punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa.” Dan akhirnya memang kita demikian, bukan? Setiap kita akan pulang dengan tangan kosong, tanpa membawa siapa-siapa dan apa-apa. Hal ini bukan berarti kita tidak bisa menikmati apa pun yang Tuhan berikan. Panca indra kita masih bisa menikmati, tapi tidak bisa dibelenggu, diperbudak oleh apa pun yang kita nikmati. Merupakan suatu keindahan yang luar biasa ketika kita dapat menikmati sesuatu tanpa dikuasai oleh sesuatu; kecuali terhadap Tuhan. Sebab hanya Tuhan yang dapat kita nikmati dan yang menguasai kita. 

Coba seandainya besok siang kita meninggal dunia, maka hari ini kita pasti tidak akan sibuk dengan urusan apa pun kecuali urusan Tuhan. Kenapa kita tidak berpikir bahwa mungkin bukan besok melainkan malam ini adalah malam terakhir kita? Apa sekarang yang masih mengikat hati kita? Mungkin satu keadaan dan kita berharap kalau keadaan ini selesai, maka kesulitan ini selesai; jika keadaan ini bisa dilewati, maka kita bahagia. Sejatinya, kesulitan hidup kita tidak selesai pun, kita harus tetap bahagia karena kita bersama Tuhan. Sekalipun Dia tidak mendengar dan tidak menjawab doa kita, tidak masalah. Yang penting kita ada di hadirat-Nya; kita memiliki Dia dan Dia memiliki kita.