Skip to content

Merajut Senyum Tuhan

 

Ibrani 5 menjelaskan arti hidup dalam iman kepada Anak Allah. Kelak, ketika kita meninggal dunia, di nisan hanya tertulis nama kita, tanggal lahir, dan tanggal kematian. Namun jejak hidup kita sebagai anak-anak Allah akan ditorehkan dalam kekekalan. Jangan sampai di akhir hidup kita berkata, “Yang paling kusesali setelah menjalani hidup ini adalah aku tidak pernah menjalani hidupku sendiri. Maksudnya, hidup yang dijalani bukanlah jalan hidup Anak Allah, melainkan jalan hidup anak dunia dengan segala kesenangan yang tidak ada habisnya. Pada akhirnya kita akan menyesal. Karena itu, mumpung masih ada kesempatan untuk berubah, mari kita berubah! Jejak Anak Allah, yakni jejak Tuhan Yesus, sudah ditulis di Alkitab. Sedangkan jejak hidup kita akan ditulis dalam Kitab Kehidupan Anak Domba.

Yesus telah mengosongkan diri-Nya. Bagaimana penerapannya dalam hidup kita? Seperti tertulis dalam Filipi 2:5–7, kita juga harus mengosongkan diri. Rayakan hidup-Nya, karena kita harus mengenakan hidup-Nya. Waktu Yesus dibaptis, Dia bukanlah orang berdosa, tetapi Ia disamakan dengan orang berdosa. Apalagi kita, yang memang orang berdosa? Karena itu, kita harus menyerahkan diri untuk dibaptis, dengan pertobatan yang sungguh-sungguh. Saat Yesus dicobai di padang gurun, dunia ditawarkan kepada-Nya. Tetapi Ia memilih tunduk kepada Bapa di surga, menyembah Allah, dan berbakti hanya kepada-Nya. Rayakan hidup-Nya dalam hidup kita—sampai ke Getsemani dan Golgota.

Banyak orang mengutip ayat Perjanjian Lama lalu memaksakan penerapannya bagi orang Kristen. Sejatinya, mereka sedang meniru siapa? Kita harus mengimitasi Tuhan Yesus. Rayakan dan teladani hidup-Nya, sebab hidup yang demikian pasti merajut senyum Bapa di surga setiap saat. Perhatikan: ketika Yesus memberi makan orang lapar; ketika semua orang ingin melempari perempuan berdosa dengan batu, Ia justru menyambutnya; ketika seorang berdosa membasuh kaki-Nya dengan air mata; ketika Maria memecahkan buli-buli pualam berisi minyak narwastu untuk mengurapi-Nya. Bahkan ketika Yesus masuk ke Getsemani, Ia bergumul antara kehendak-Nya sendiri dan kehendak Bapa, lalu Ia memilih kehendak Bapa. Inilah hidup yang harus kita rayakan, contoh, dan teladani. Jika tidak, hidup siapa yang kita kenakan? Bagaimana kita bisa disebut anak-anak Allah bila tidak memiliki jejak seperti jejak Yang Mulia, Tuhan kita Yesus Kristus?

Karena itu, jangan lagi mengisi hidup kita dengan hal-hal yang salah. Kita harus mengakhiri sisa umur dengan baik—finishing well. Jangan kejam, jangan jahat, jangan pelit, jangan egois, dan jangan melakukan apa pun yang melukai hati Tuhan. Kita harus dengan sengaja merajut senyum Tuhan dalam kembara hidup yang singkat ini. Kelak, ketika kita menutup mata, kita akan melihat kekekalan. Saat menoleh ke belakang, kita akan menyadari betapa beruntungnya bila sejak hari ini kita sungguh-sungguh bertobat dan berubah. Jika tidak, kita hanya bisa berkata, “Tuhan, beri aku kesempatan kedua.” Tetapi ingat, kesempatan kedua itu tidak ada. Karena itu, jangan sombong. Jangan merasa sudah selesai. Kita masih harus berjuang.

Ibrani 5:7 mencatat: “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.” Jangan pernah berpikir bahwa ketika Yesus mengenakan tubuh manusia, Ia tidak bisa berdosa. Ia bisa! Ia bisa memberontak kepada Bapa, Ia bisa memilih jalan-Nya sendiri. Tetapi Ia memilih taat kepada Bapa di surga. Ketika berkata, “Hati-Ku sedih, seperti mau mati rasanya,” itu bukan sandiwara. Peluh-Nya menitik seperti darah, Ia sungguh-sungguh berjuang antara kehendak-Nya dan kehendak Bapa. Namun Ia menutup doa-Nya dengan perkataan, “Bukan kehendak-Ku yang jadi, melainkan kehendak-Mu.” Yesus serius melakukannya. Ia tidak berpura-pura. Dan itu membuktikan, Ia mencintai Bapa di surga lebih daripada keinginan-Nya sendiri. mendengarnya.”