Saudaraku,
Kita hidup di dunia yang sudah jatuh, dunia yang tidak ideal untuk dihuni, dunia yang sudah rusak, dunia yang dapat digambarkan sebagai produk yang gagal. Tentu bukan karena Allah menghendaki demikian, melainkan manusia sebagai pelaku kehidupan yang dipercayakan untuk mendiami dan mengelola bumi ini telah menjadi manusia yang memberontak kepada Allah. Bumi menjadi terhukum atau terkutuk. Jadi dunia kita ini benar-benar bukan hunian yang nyaman dan ideal. Banyak hal yang bisa terjadi dalam hidup kita di luar dugaan kita, di luar pengetahuan kita. Ibarat berlayar, kita berlayar di lautan yang tidak terprediksi, tidak teramalkan cuacanya. Hujan bisa turun setiap saat, bahkan badai bisa menerpa setiap saat. Jadi, kita ada di dalam dunia yang benar-benar tidak nyaman untuk dihuni.
Hal ini harus kita camkan dulu di dalam pikiran dan hati, supaya kita tidak terkejut kalau ada hal-hal yang terjadi dalam hidup kita di luar dugaan kita. Tidak usah bertanya, “Mengapa hal ini terjadi?” dengan kekecewaan terhadap keadaan dan terlebih terhadap Tuhan. Kalau kita bertanya, “Mengapa hal ini terjadi?” mari kita persoalkan keadaan diri kita. Mengapa Tuhan izinkan hal itu terjadi di dalam hidup kita? Sebab dalam perjalanan hidup ini, kita tidak bisa menciptakan ombak atau gelombang. Kita tidak bisa membuat iklim; ini semua di luar kemampuan dan dugaan kita. Gelombang yang datang menerpa hidup kita, iklim yang harus kita jalani, apakah panas, tiba-tiba hujan, dan lain-lain, itu bukan kekuasaan kita, itu di luar kekuasaan kita.
Tetapi, kita bisa menghadapi kenyataan hidup ini. Ibarat ombak, kita tidak bisa menciptakan ombak, tetapi kita bisa belajar berselancar untuk bisa ada di atas ombak, bukan tenggelam di dalamnya. Kita bisa menjagai hati kita, bagaimana bersikap terhadap setiap gelombang kehidupan yang menerpa kita. Tingginya ombak tidak bisa kita atur, tetapi yang penting bagaimana kita bisa berselancar di atasnya. Dalam perspektif lain, bagaimana kita bisa teduh di dalam segala situasi yang kita hadapi. Yang harus diteduhkan adalah gelombang jiwa kita. Kita tidak bisa meneduhkan gelombang kehidupan karena itu di luar kemampuan kita, tapi kita bisa meneduhkan gelombang jiwa kita.
Saudaraku,
Setinggi apa pun gelombang kehidupan yang menerpa hidup kita, tidak akan menenggelamkan kita kalau kita bisa meneduhkan gelombang jiwa kita. Kita tidak bisa menciptakan musim kehidupan karena musim kehidupan di luar kemampuan kita, tapi kita bisa mengelola batin dan hati kita untuk teduh menghadapi segala situasi. Dengan keteduhan itulah kita bisa berselancar di atas gelombang kehidupan. Keteduhan hati seseorang tidak dapat dicapai dalam satu hari, tak dapat dicapai dan dimiliki dalam satu bulan, bahkan tak dapat dicapai dan dimiliki dalam waktu satu tahun. Keteduhan kita menghadapi segala situasi bertumbuh seiring dengan bertumbuhnya kedewasaan kita, pengertian kita tentang kehidupan, dan pemahaman kita mengenai kebenaran.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memiliki keteduhan di tengah badai itu? Kita bisa teduh kalau kita bertumbuh dewasa. Yang pertama, pahami dan terima realitas bahwa kita hidup di dunia yang sudah jatuh, dunia yang tidak ideal untuk dihuni, dunia yang sudah rusak. Sejatinya, hal ini tidak memerlukan proses panjang, karena untuk menerima hal ini cukup dengan pengertian. Yang kedua, nikmati damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal; Yohanes 14:27, “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu, damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” Jadi, setinggi apa pun gelombang hidup yang kita alami, ada damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal.
Kalau damai sejahtera dari dunia itu adalah damai sejahtera yang difasilitasi oleh keadaan yang baik, serba kecukupan. Namun untuk kita dapat menikmati damai sejahtera Allah, perlu kita benar-benar dalam proses. Karena selama kita masih menikmati dan mengandalkan sukacita dunia, kita tidak bisa menikmati damai sejahtera Allah. Maka untuk itu ada dua hal yang harus kita lakukan, yaitu: meninggalkan sukacita dunia, dan hidup suci. Damai sejahtera Allah tidak dapat kita nikmati dalam keadaan karakter yang buruk.
Teriring salam dan doa,
Pdt. Dr. Erastus Sabdono
Keteduhan kita menghadapi segala situasi bertumbuh seiring dengan bertumbuhnya kedewasaan kita, pengertian kita tentang kehidupan, dan pemahaman kita mengenai kebenaran.