Tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya gagal. Orang tua pasti menghendaki anaknya berhasil, sukses, dan dapat mencapai prestasi setinggi-tingginya. Demikian pula dengan Tuhan. Apalagi Tuhan, Ia menghendaki kita mampu mencapai prestasi atau keberhasilan setinggi-tingginya yang dapat kita capai. Tentu saja dalam hal ini yang dimaksud adalah keberhasilan dan sukses yang berkualitas sempurna, sesuai dengan standar Allah Bapa, sesuai dengan standar Tuhan. Maka, dalam hal ini kita harus belajar untuk sungguh-sungguh mengerti apa yang Allah kehendaki; bagaimana versi keberhasilan menurut Tuhan itu. Ingat, kita hanya punya satu kali kesempatan hidup di bumi, yang tidak lebih dari 100 tahun. Tuhan tidak menginginkan kita meraih sebanyak-banyaknya apa yang dapat diraih di bumi ini, tetapi tidak meraih apa yang bernilai kekal.
Harus diingat, kita adalah makhluk kekal. Maka, kita harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang kekekalan. Tidak banyak orang yang sudah bisa menyeberang, melintasi batas. Maksudnya “melintas batas” ini adalah tidak lagi memiliki sudut pandang kefanaan, tetapi memandang segala sesuatu selalu dengan sudut pandang kekekalan. Hal ini hanya bisa dialami oleh orang yang mau belajar kebenaran firman Tuhan dengan benar dan bergaul dengan Tuhan, sehingga mengalami perjumpaan yang nyata dengan Tuhan. Memang hal ini perlu waktu dan melewati sebuah proses. Sebenarnya ketika Tuhan Yesus berkata di Injil Matius 6:19-21, Tuhan Yesus mengarahkan kita untuk memiliki sudut pandang atau cara pandang kekekalan. “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Lalu diakhiri di ayat 21 dalam konteks ini, “Di mana ada hartamu, di situ hatimu berada.” Di Kolose 3 Rasul Paulus menulis, “Pikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi.”
Kalau jujur kita akui, bertahun-tahun menjadi orang Kristen, berbicara mengenai surga, atau mendengar mengenai hal ini, tetapi hati kita masih sulit kita pindahkan ke Kerajaan Surga. Hal itu terjadi karena kita masih punya banyak kegemaran dan kesukaan dari fasilitas dan hiburan dunia ini. Mungkin bagi banyak orang percaya, hal ini terkesan berlebihan, munafik, dan tidak realistis. Namun, kita tetap harus berkomitmen memaksakan diri. Kalau kita masih mengikuti keinginan daging, keinginan jiwa dengan seleranya yang terbentuk sejak kanak-kanak, maka kita tidak akan bisa menembus batas. Namun, kita harus mencoba untuk mengarahkan hati kepada Tuhan, lalu kita membuat komitmen-komitmen, janji-janji, sumpah atau perjanjian dengan Tuhan. Selanjutnya, kita akan menemukan satu hal dalam hidup ini, bahwa orang yang serius mengadakan perjanjian dengan Tuhan, maka Tuhan akan menolongnya untuk bisa memenuhinya.
Walaupun kita tidak akan sanggup memenuhinya, tetapi kita harus berniat dan bertekad. Terkesan ada unsur munafik, tetapi kita serius mau mencapai apa yang Tuhan kehendaki, lalu apa yang terjadi? Tuhan mengguncang hidup kita dengan banyak persoalan, dengan banyak pergumulan, kepedihan hidup. Semakin kita bisa memenuhi apa yang kita komitmenkan, kita janjikan kepada Tuhan, proses inilah yang membuat kita bisa melintasi batas. Walaupun tentu sekarang kita belum sempurna, tetapi kerinduan kita akan Tuhan akan menjadi semakin kuat. Keberanian kita untuk dijemput pulang Tuhan ke Rumah Bapa pun bertambah pasti. Percayalah, Tuhan menilai baik dan menghargai kenekatan kita.
Memang harus didorong oleh hati yang mencintai Tuhan dan memiliki pikiran realistis rohani. Realistis rohani, bukan realistis duniawi. Sebab kalau kita bicara soal langit baru bumi baru, surga, kekekalan, itu dianggap mimpi; tidak realistis. Namun, kalau kita belajar kebenaran, maka kita pasti berhitung di mana hidup kita di bumi ini paling lama hanya 100 tahun dan sungguh menghayati manusia sebagai makhluk kekal. Maka, adalah realistis kalau kita memilih kehidupan di balik kubur yang kekal itu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kekekalan. Salah satu ciri dari orang yang sudah bisa melihat segala sesuatu dengan perspektif kekekalan adalah dia menemukan tragisnya hidup.
Melihat orang susah, orang menderita, di sana kita melihat tragisnya hidup. Namun, ketika kita melihat orang beruntung; rumah mewah, pesta, kendaraan mobil mewah, dan lain-lain, kita melihat juga tragisnya hidup, karena semua akan berakhir. Maka, jika kita bisa menghayati hidup dari sudut pandang ini, barulah kita mengerti versi keberhasilan, versi sukses yang benar menurut Tuhan. Hidup kekristenan itu selalu diarahkan kepada kekekalan atau kehidupan yang akan datang. Ironisnya, banyak orang Kristen yang belum bisa dientaskan. Ingatlah, Bapa menghajar kita untuk kebaikan kita, untuk keberhasilan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.
Tuhan tidak menginginkan kita meraih sebanyak-banyaknya
apa yang dapat diraih di bumi ini, tetapi tidak meraih apa yang bernilai kekal.