Bagaimana kita bisa menyembah dan kita layak di hadapan Tuhan? Kalau di dalam ritual agama-agama tertentu, agama-agama suku, agama-agama primitif pasti ada persembahan; bisa kepala kerbau, atau binatang-binatang tertentu, bahkan bisa anak gadis, atau bayi yang baru lahir beberapa minggu, dan itu memuaskan hati dewa atau ilah atau allah yang disembahnya. Tahukah kita persembahan yang paling menyenangkan hati Allah? Nyawa kita yaitu ketika kita menyerahkan nyawa kita sebagai korban di hadapan Allah. Dalam hal ini yang dimaksud dengan menyerahkan nyawa adalah, pertama, bertekad untuk tidak memiliki keinginan apa pun selain melakukan kehendak-Nya.
Memang ini mustahil bagi manusia, hal yang tidak pernah bisa kita lakukan, tetapi standar yang harus kita miliki adalah kehidupan Yesus, yang kalimat-Nya, “Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, Anak Manusia tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Dan Tuhan kita, Juru Selamat kita, Yesus Kristus membuktikan dengan mati di kayu salib dengan tubuh setengah telanjang, tergantung antara langit dan bumi, Dia menyerahkan nyawa-Nya. Dalam salah satu pernyataan-Nya dikatakan, “Aku datang untuk menyelesaikan pekerjaan Bapa.” Jadi ketika kita menyerahkan nyawa kita sebagai korban berarti kita bertekad untuk hidup hanya melakukan kehendak Allah.
Yang kedua, menyerahkan nyawa berarti kita bertekad untuk hidup tidak bercacat tidak bercela. Betapa sulitnya membahasakan ini, tetapi kita mau menjadi umat yang disisakan Allah. Sementara orang hidup hanya untuk melihat kepentingannya sendiri, mencari kepuasan sendiri, kita hidup untuk mencari kesenangan Allah, mencari kepuasan hati Allah. Jadi, waktu kita berkata “Engkau layak, layak dipuji dan disembah,”
kita tidak hanya mengucapkan kalimat penyembahan, tetapi kita harus punya hati yang menyembah. Bagaimana ketaatan Sadrakh, Mesakh, dan Abednego yang ditunjukkan dengan mempertaruhkan nyawa mereka? Mereka lebih rela mati dibakar di perapian yang dinyalakan tujuh kali lipat daripada menyembah dewa asing, patung yang didirikan di lembah Dura oleh Nebukadnezar.
Daniel lebih memilih masuk gua singa. Yusuf lebih memilih masuk penjara daripada berbuat dosa dan mengatakan, “Bagaimana aku akan melakukan dosa sebesar ini di hadapan Allahku?” Yang puncaknya adalah Tuhan Yesus, Dia memilih salib daripada terhindar dari salib dengan mengakhiri kalimat doa-Nya: “Kehendak-Mu yang jadi.” Karenanya Paulus membahasakan dengan kalimat, “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Kedengarannya ini berlebihan, tetapi ini justru standar. Kita mau menyerahkan nyawa kita, yaitu dengan bersedia hidup hanya untuk melakukan kehendak Allah dan hidup tidak bercacat tidak bercela.
Secara manusia, kita lemah, tapi Yahweh adalah kekuatan kita. Sehingga di mana kita berada, kita membawa Dia. Tuhan adalah kekuatan kita, bisa kita alami dan miliki kalau kita menyerahkan nyawa kita untuk Dia, hidup hanya untuk kepentingan Tuhan, untuk Kerajaan-Nya, untuk kesukaan hati Allah. Jika tidak, maka kita hanya akan memanfaatkan, memanipulasi, mengeksploitasi kuasa Tuhan. Tetapi kalau kita hidup untuk Tuhan, untuk Kerajaan-Nya, untuk kesukaan hati Tuhan, barulah kita layak dilindungi, barulah kita layak menjadikan Tuhan kekuatan kita. Jadi, hari ini kita mulai belajar menyerahkan nyawa kita. Sejatinya, banyak di antara kita yang masih “liar,” suka-suka sendiri, karena bertahun-tahun—bukan saja belasan, melainkan mungkin puluhan tahun—hidup hanya untuk kesukaan sendiri.
Tapi sekarang kita harus sungguh-sungguh menyerahkan nyawa untuk Tuhan. Itu kita lakukan walaupun kita belum sempurna, dan memang belum sempurna. Maka, kita berjuang untuk menyerahkan nyawa. Di dalam penyerahan itu, kita bertekad tidak punya keinginan kecuali menyenangkan hati Allah. Apakah itu bisa? Apakah itu mungkin? Sangat bisa. Karena Yesus bisa melakukan, maka kita pun pasti bisa melakukan. Dan standar kita adalah harus serupa dengan Yesus.
Ketika kita menyerahkan nyawa kita, kita bertekad untuk hidup tak bercacat, tak bercela, hidup suci. Apakah itu bisa? Tidak mungkin Tuhan memerintahkan apa yang tidak bisa kita lakukan. Dan ini kabar baik, ketika Allah berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Itu berarti Allah akan memungkinkan kita hidup dalam kekudusan standar Allah. Kita mulai sekarang sambil berkemas-kemas menyambut kedatangan Tuhan yang kedua kali. Dunia bergolak makin jahat, namun kita berjuang menjadi orang yang disisakan untuk Tuhan.