Jangan memiliki mental block dan berkata, “Tidak mungkin mencapai kesucian.” Sebab Tuhan berkata, “Keluarlah kamu dari antara mereka. Jangan menjamah apa yang najis. Maka Aku akan menerima kamu sebagai anak-Ku laki-laki dan anak-Ku perempuan.” Dengan keyakinan bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar, maka kita mau belajar untuk benar-benar berjuang hidup suci dan tidak terikat dengan dunia ini. Sebab hanya orang-orang yang melakukan kehendak Bapa—artinya yang hidup seperti Tuhan Yesus hidup dalam kesucian yakni hidup yang tidak bercacat cela—yang akan diterima di Kemah Abadi-Nya. Dan hanya orang yang tidak terikat dengan dunia yang akan jadi mempelai Tuhan, sebagai perawan suci di hadapan Tuhan.
Oleh sebab itu, terkait dengan penjelasan ini, kita harus mengerti dan menerima bahwa kalau Tuhan Yesus sudah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, maka kita pun harus menyerahkan nyawa kita untuk Tuhan. Kita tidak bisa dikatakan sebagai orang yang ditebus kalau tidak menyerahkan tebusan itu, yaitu hidup kita yang telah ditebus; menyerahkan nyawa. Nyawa kitalah yang harus dikembalikan kepada Dia yang telah menebus kita. Dulu kita begitu puas karena sudah hidup sebagai orang beragama Kristen, walau tanpa memenuhi isi dari penebusan yang Tuhan kerjakan. Sekarang kita harus mau menerima dan mengerti bahwa kalau Tuhan Yesus sudah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita, kita pun harus menyerahkan nyawa kita untuk Tuhan.
Tidak ada orang Kristen yang boleh tidak menyerahkan nyawa. Kalau kita menerima Yesus sebagai Juru Selamat, mengakui Dia sebagai Juru Selamat, dan menerima Dia sebagai Juru Selamat, maka kita harus menyerahkan nyawa kita kepada Dia. Jika tidak, berarti kita menolak penebusan itu. Ini paralel dengan orang yang menolak hidup di dalam kesucian, berarti menolak Allah. Ironis, kekristenan yang kita pahami selama ini, barangkali kekristenan yang sudah merosot nilainya, sudah mengalami degradasi. Bukan kekristenan yang murni, melainkan kekristenan yang dipalsukan. Sekarang mari kita kembali kepada apa yang diajarkan Tuhan Yesus.
Seandainya Yang Mulia Tuhan kita, Yesus Kristus, hari ini berdiri di sini mengajar kita, maka Ia akan mengulangi apa yang pernah Dia ajarkan 2000 tahun yang lalu: kehilangan nyawa atau hal menyerahkan nyawa. Di dalam Alkitab, kita menemukan ayat-ayat yang mencatat ucapan Tuhan Yesus mengenai hal kehilangan nyawa ini. Namun hal menyerahkan nyawa memuat konteks yang bermacam-macam, yaitu: yang pertama, berarti pemisahan (keluarga). Yang kedua, berarti melepaskan keterikatan dengan dunia. Dan ketiga, bicara soal penderitaan atau salib, penderitaan untuk rencana Allah atau untuk pekerjaan-Nya.
Pada umumnya, orang menilai bahwa keluarga adalah nyawanya. Ketika mengikut Tuhan Yesus, ini bisa menjadi batu sandungan atau halangan yang sangat kuat, sehingga kesetiaan sejati kepada Kristus tidak bisa terwujud karena keluarga. Ikatan batin antara suami-istri, orang tua-anak bisa merusak hubungan ideal yang seharusnya kita bangun dengan Tuhan. Ironisnya, khotbah di banyak tempat, seminar-seminar keluarga justru menggiring orang Kristen untuk memiliki kerajaan yang disebut kerajaan keluarga. Padahal itu bisa merusak rencana Allah untuk membangun keluarga Kerajaan Allah di langit baru dan bumi baru.
Mengatakan hal ini bukan berarti rumah tangga harus tidak harmonis atau bermaksud membuat rumah tangga berantakan. Tetapi ingat, keluarga bisa menjadi hambatan yang paling besar bagi seseorang dalam mengiring Tuhan Yesus. Selama ini justru dibuat seindah dan seakan-akan penuh bunga, seolah keluarga bisa menjadi sumber kebahagiaan hidup. Tetapi, benarkah itu diperkenan oleh Allah? Logika rohani umat Perjanjian Baru berbeda. Logika Tuhan Yesus berbeda dengan logika agama dan ajaran etika pada umumnya. Dalam Matius 10:39 Yesus mengatakan, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.”