Skip to content

Menyembelih Diri

Hubungan kita dengan Elohim atau Allah adalah hubungan Bapa dan anak. Dan itu indah sekali. Sebab, kita menemukan simetrisnya, analoginya dengan kehidupan kita. Kalau kita cerdas, kita dapat menangkap kebenaran-kebenaran di dalam kehidupan kita yang kita alami, kita jalani dalam hubungan antara orang tua dan anak, yang itu bisa kita kenakan dalam hubungan kita dengan Allah sebagai Bapa. Ketika anak masih kanak-kanak atau belum dewasa berkata kepada orang tua, “I love you,” itu membahagiakan orang tua, walaupun anak belum bisa buat apa-apa, bahkan ketika anak masih sering merepotkan. 

Tapi, kalimat itu tidak bisa diucapkan oleh anak dewasa tanpa membayar harga cintanya. Anak yang tidak dengar-dengaran kepada orang tua, yang tidak mau belajar dengan baik, bahkan melakukan pelanggaran-pelanggaran—apalagi pelanggaran berat seperti narkoba—tentu menyusahkan hati orang tua. Dan apabila setelah dewasa ia tetap melakukan berbagai kejahatan, lalu berkata, “Mama, I love you,” itu lebih menyakitkan lagi. 

Masalah besar adalah banyak orang tidak merasakan dan tidak mengerti perasaan Allah. Jadi ketika Tuhan terluka, kita tidak merasakan; tidak tahu, tidak peka. Itu mengerikan sekali. Walaupun tentu Tuhan memberitahu, tapi kita sering keras kepala. Banyak orang keras kepala. Seperti banyak di antara orang-orang Kristen yang mulutnya mengatakan, “Aku menyembah (memberi nilai tinggi), aku cinta pada-Mu,” tapi tidak buat apa-apa. Itu menyakitkan hati Bapa. Pada akhirnya, kita bisa mengerti bahwa hidup kita memang harus untuk Tuhan. 

Untuk Tuhan, artinya untuk orang di sekitar kita. Itu maksudnya. Kita harus berani “menyembelih diri” supaya bisa memberkati sesama dan menjadi saluran untuk menyentuh Allah. Yesus, Imam Besar, Dia disembelih di kayu salib untuk bisa membawa orang percaya kepada Bapa. Kalau Imam Besar di Perjanjian Lama, yang disembelih itu domba. Dalam hidup orang percaya, kita harus “menyembelih diri.” Kalau kita ingin melihat anak-anak diberkati, tidak mempermalukan mereka, maka sembelih diri kita! Banyak orang tua yang tidak menyembelih dirinya. Sehingga membuat anaknya malu. 

Kita belum bisa jadi contoh kalau belum menyembelih diri! Para pendeta kalau mau menjadi berkat dalam khotbahnya, harus menyembelih diri! Para worship leader, singer atau choir, supaya bisa menjadi berkat bagi jemaat waktu memimpin puji-pujian, harus menyembelih diri supaya bisa menjadi keharuman. Bukan berarti kita tidak boleh punya rumah bagus atau mobil bagus, kalau memang bagian kita. Siapa yang bisa larang kalau Tuhan yang beri untuk bagian kita masing-masing? Tapi kalau itu menjadi kenyamanan, berarti kita tidak menyembelih diri kita. 

Tuhan sembelih kita lewat banyak hal. Itu cara untuk menghancurkan kesombongan kita. Harga diri, nama baik dirusak, ekonomi berantakan; itu disembelih. Dan kita harus terima. Itu pisau Tuhan, supaya kita tidak melakukan kesalahan. Kalau kita tidak menyembelih diri, kita disembelih. Contoh, dari muda kita tidak mengerti bagaimana seharusnya hidup dengan tertib. Pokoknya dididik makan enak. Sate, sop, soto, minyak, dimakan semua. Akhirnya, kita disembelih di meja operasi. Coba kalau dari muda kita makan sayur-mayur, buah-buahan, biji-bijian, maka kita tidak disembelih dokter di meja operasi. Hal ini terjadi karena kita tidak mau menyembelih diri. 

Padahal Alkitab dalam Amsal 23:2-3 berkata, “Taruhlah sebuah pisau pada lehermu, bila besar nafsumu! Jangan ingin akan makanannya yang lezat, itu adalah hidangan yang menipu.” Setelah tua, kita baru sadar. Tapi sudah hampir terlambat atau sudah terlambat. Ini kesalahan. Tapi yang terpenting, jangan sampai kita disembelih di kekekalan. Kalau kita masih hidup dalam kedagingan, tidak hidup dalam kesucian, bagaimana kita bisa terbang tinggi? Yang sudah berjuang terus untuk hidup suci saja, naiknya tidak gampang, tapi pasti naik. Makin hari, makin naik. Walaupun sedikit, tapi ada rasa naiknya. Dan itu tentu kita dapat rasakan waktu kita berdoa; khususnya dalam doa pribadi. Jadi, beratnya pelayanan itu bukan besuk sana, besuk sini, bangun pagi, malam kurang tidur. Tapi yang penting sembelih kedagingan kita, sembelih keduniawian kita agar hidup kita dapat menjadi roti yang terpecah dan anggur yang tercurah.