Skip to content

Menyatakan Kemuliaan Tuhan

 

Ada orang-orang Kristen yang sibuk dalam kegiatan rohani, tetapi kesibukan rohani—kesibukan dalam pelayanan gereja—tidak selalu berdaya guna untuk mengubah hidup seseorang menuju pengenaan kodrat ilahi. Mengenakan kodrat ilahi berarti menampilkan sifat-sifat Allah dalam seluruh perilaku hidupnya. Memang, kita masih dapat saja meleset dalam pelaksanaannya, tetapi bagaimanapun, orang lain tetap akan menemukan welas asih, kepedulian terhadap sesama, serta kesediaan untuk memecah roti dan membagi anggur dalam diri orang tersebut. Orang-orang Kristen seperti inilah yang menyatakan kemuliaan Allah.

Dalam era Perjanjian Baru, Allah tidak lagi menyatakan kemuliaan-Nya dengan standar fisik, apalagi yang bersifat duniawi. Jika pada masa Perjanjian Lama Allah menyatakan kemuliaan-Nya melalui kekuatan dan tanda-tanda fisik, maka pada masa Perjanjian Baru tidak demikian halnya. Terlebih lagi pada abad-abad mula-mula, ketika orang-orang Kristen dianiaya, bahkan dibunuh dengan kejam; seolah-olah Tuhan tidak berdaya. Namun justru dalam keadaan seperti itu, Tuhan menyatakan kemuliaan-Nya melalui orang-orang percaya yang berkodrat ilahi—mereka yang mengenal Tuhan dengan benar, baik secara penalaran, pengertian, maupun kognitif. Orang yang mengerti kehendak Tuhan, peka terhadap-Nya, dan melakukan kehendak-Nya, ialah orang yang menyatakan kemuliaan Tuhan.

Hal ini menjadi bahan perenungan bagi kita: apakah kita sudah menyatakan kemuliaan Tuhan dalam kehidupan kita setiap hari? Seperti Abraham, yang merupakan seorang terpanggil. Keharuman hidupnya tajam menyengat sekelilingnya, sehingga ke mana pun ia pergi, ia membawa keharuman panggilan itu. Seluruh aspek hidupnya menunjukkan panggilan Allah. Tentu, setiap orang percaya pun seharusnya demikian.

Apabila kegiatan gereja tidak membuat seseorang semakin mengenakan kodrat ilahi, maka hal itu merupakan penyesatan yang sangat cerdas dari kuasa kegelapan, yang memenjara banyak orang Kristen sehingga tidak bertumbuh secara benar. Mereka merasa berada di jalur yang benar, merasa semakin rohani, semakin cakap, dan sukses dalam pelayanan gereja; padahal pertumbuhan seperti itu sesungguhnya salah arah dan tidak normal. Mereka mengira sudah memilih Tuhan dan merasa puas dengan kehidupan kekristenan yang dimiliki. Orang seperti ini tidak lagi memiliki kerinduan untuk bergerak menuju level yang lebih tinggi. Mereka tidak memiliki kehausan dan kelaparan akan kebenaran, seperti yang dimaksudkan Tuhan dalam Matius 5.

Namun, bagi kebanyakan orang Kristen, kehausan itu telah bergeser: bukan lagi haus akan kebenaran, melainkan haus akan fasilitas—bagaimana mengganti mobil, membeli rumah, atau menambah harta benda lainnya. Bukan berarti mengganti mobil atau membeli rumah itu salah; tetapi semua itu tidak boleh menjadi kenikmatan, melainkan sarana untuk melayani Tuhan. Maka, kita harus bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Segala kebutuhan adalah hal yang berguna untuk pekerjaan Tuhan, sedangkan keinginan sering kali berakar pada kepuasan pribadi, harga diri, atau kehormatan. Bagi para rohaniwan dan aktivis gereja, kehausan itu sering kali bergeser menjadi ambisi untuk memperbanyak jumlah jemaat, membuka banyak cabang gereja, atau memperluas kegiatan pelayanan. Sekali lagi, hal-hal itu bukanlah sesuatu yang salah, sebab dapat menjadi bagian dari pelayanan yang holistik. Namun, jangan sampai semua itu menjadi sumber kesenangan diri.

Sejatinya, jika dilihat dari standar hidup beriman yang benar, tidak dapat disangkal bahwa sangat sedikit orang yang sungguh-sungguh tergolong sebagai orang percaya. Bahkan, jangan-jangan sebagian dari kita pun belum dapat dikatakan sebagai orang beriman yang benar. Contoh yang sejati dari orang beriman yang benar ialah Abraham. Kita patut bersyukur karena Tuhan memberikan kepada kita kesabaran dan toleransi-Nya yang panjang, serta terus membimbing kita. Namun, sampai pada titik tertentu, Tuhan akan membiarkan mereka yang tidak mau berubah—karena memang tidak lagi termasuk dalam golongan orang percaya sejati.

Maka dari itu, jangan main-main, sekalipun kita adalah seorang pendeta atau pelayan Tuhan. Jika diukur dari standar hidup beriman yang benar, sulit dibantah bahwa hanya sedikit orang yang sungguh-sungguh termasuk dalam kategori orang percaya. Buktinya, banyak orang Kristen tidak berbeda dari mereka yang tidak percaya. Bila satu-satunya perbedaan hanyalah karena kita pergi ke gereja, atau karena nama kita bernuansa Kristen, maka itu naif sekali.