Skip to content

Menyambut Yesus dalam Hidup

Kalau kita membaca Injil Matius 19:21-23, kita menemukan orang kaya yang mau mengikut Yesus, tetapi akhirnya gagal karena tidak mau memenuhi apa yang Tuhan perintahkan; “Jual segala milikmu, bagikan kepada orang miskin. Datanglah ke mari, ikutlah Aku.” Ia tidak mengalami perubahan karena menolak apa yang diperintahkan Tuhan. Tetapi perhatikan ketika Yesus memanggil Petrus dan Yohanes, “tinggalkan jala dan perahumu.” Atau ketika Yesus berkata kepada Lewi yang kemudian bernama Matius, “ikut Aku,” dia tinggalkan meja cukainya seketika itu juga. Keberanian-keberanian seperti ini harus dibayar. Perlu dikhawatirkan jika kita sudah tidak pernah mendengar bahwa ada harga yang harus dibayar untuk percaya dan mengikut Yesus. Apalagi yang memang Kristen keturunan; dari kecil sudah Kristen, atau karena agama pasangan hidup. Tidak apa-apa kalau itu menjadi langkah pertama. Tetapi setelah itu, kita harus berhadapan dengan Tuhan secara langsung, dan menyatakan diri mengikut Yesus. 

Kalau kita membaca kisah Zakheus di Lukas 19, sudah pasti Zakheus tahu bahwa mengikuti Yesus itu berisiko. Dan ketika Yesus berkata, “Zakheus, hari ini Aku akan menumpang di rumahmu.” Zakheus turun dari pohon ara menyambut Yesus. Harganya adalah ia berubah. Dia tidak boleh menjadi seperti Zakheus sebelumnya. Jadi, ia bukan hanya menyambut Yesus menginap di rumahnya, tetapi menyambut Yesus untuk masuk di dalam kehidupannya. Banyak orang Kristen yang menyambut Yesus dalam “rumah,” tapi tidak menyambut Yesus di dalam hidupnya. Menarik, ketika Yesus berkata, “hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham.” Kalau Yesus hanya datang ke rumahnya, maka tidak ada keselamatan. Kenapa disebut anak Abraham? Bukan karena dia keturunan secara darah daging sebagai orang Yahudi, melainkan karena perilakunya seperti Abraham. 

Abraham dipanggil sebagai bapak orang percaya. Dia membayar percayanya dengan seluruh kehidupannya. Ironis, kekristenan hari ini sudah dipoles; telah berubah menjadi kekristenan yang sebenarnya tidak orisinal atau palsu, tidak murni lagi. Kristen yang sejati harus kita temukan lagi. Orang kalau bicara “kembali ke Alkitab,” maka tokoh-tokoh teologi yang dikemukakan. Dan kalau tidak seperti pandangan teologi tertentu, maka dianggap sesat. Itu benar-benar naif. Back to the Bible, berarti harus secara harfiah kembali ke Bible; Alkitab. Jadi, kita harus memeriksa diri. Jangan sampai kita merasa sudah menerima Yesus, tapi sebenarnya hanya kulit luarnya saja yang Kristen. Menyambut Yesus di rumah, ada gambar salib, pakai kalung salib atau dalam wujud nama Kristen; itu semua tidak menyelamatkan.

Jangan sampai kita berkeadaan belum atau tidak selamat, tapi merasa selamat. Perubahan radikal dan drastis yang kita alami, yang jika itu terus berproses, menjadikan kita tidak serupa dengan dunia; benar-benar mengalami keselamatan. Ketika Saulus menjadi buta, ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Jadi perubahan yang dialami oleh Saulus yang kemudian menjadi Paulus, bukan secara supranatural atau mistik. Memang perjumpaan Paulus dengan Yesus terjadi cukup spektakuler. Yesus mendatanginya ketika sedang dalam perjalanan, sehingga ia rebah. Lalu ada teolog-teolog yang mengatakan “memang Paulus dipilih. Maka, ia dipaksa menjadi Kristen. Sedangkan Nikodemus tidak.” Jangan salah, Nikodemus itu munafik. Mengaku Yesus berasal dari Allah, namun diam-diam mendatangi-Nya tengah malam karena takut dilihat orang. 

Kalau Paulus jelas, ia tidak mengaku Yesus dari Allah. Dia membela Yahweh karena menganggap Yesus dan pengikut-Nya sesat. Dia membela Yahweh dengan segenap hatinya. Beda dengan Nikodemus yang munafik. Maka, Tuhan menjumpai Saulus. Jadi, bukan tanpa alasan kalau Tuhan itu bertindak. Sama dengan Tuhan mengeraskan hati Firaun. Hanya orang gila yang mengeraskan hati orang tanpa alasan. Firaun memang jahat, dan Tuhan juga berkata dia tidak akan melepaskan bangsa Israel dari Mesir. Itulah penyebabnya. Jadi, Tuhan punya tatanan, dan sering orang tidak memperhatikan tatanan ini. Jangan sampai ketika kita melihat orang berubah, hidupnya saleh, bertumbuh terus, sedangkan kita tidak bertumbuh, lalu kita jadi berkata, “Dia dipilih Tuhan. Dipaksa untuk benar. Kalau saya, tidak.” Salah. Kita yang harus memiliki respons, supaya mengalami perubahan. 

Jadi kalau sekarang kita ada dalam keadaan abstain; maju tidak, mundur tidak, begini-begini saja, stagnan, kita akan “mati.” Kita harus ambil keputusan, “Aku mau ikut Yesus. Aku tidak mau terpikat dengan dunia. Aku meninggalkan dosa. Aku mau jaga perkataan dan mulutku.” Kita yang harus mengatur diri kita. Makanya di 2 Korintus 5:9-10 dikatakan bahwa semua kita harus menghadap takhta pengadilan Allah, dan setiap orang harus mempertanggungjawabkannya serta menerima apa yang patut diterima, sesuai dengan apa yang dilakukannya, baik atau jahat. Tergantung dari orang itu sendiri. 

Banyak orang Kristen yang menyambut Yesus dalam rumahnya, tapi tidak menyambut Yesus di dalam hidupnya.