Menjalani hidup di dunia yang sudah semakin rusak dan penuh kejahatan, pasti kita akan bertemu dengan banyak masalah dan pencobaan, apalagi bagi kita yang bertahan untuk hidup suci. Kita pasti pernah menjerit kepada Tuhan, berseru kepada Tuhan untuk mendapat pertolongan Tuhan, jalan keluar dari persoalan itu, dengan jeritan yang begitu dalam. Tangisan yang begitu menyayat di dalam jiwa kita untuk satu persoalan yang kita hadapi, atau ancaman atas hidup kita yang begitu besar. Apakah itu masalah sakit-penyakit, apakah masalah ekonomi, apakah masalah hukum, apakah masalah-masalah tertentu yang membuat nama baik kita hancur, keluarga kita hancur, usaha kita hancur, atau apa pun. Kalau kita bisa berseru kepada Tuhan untuk berbagai persoalan, mengapa untuk hal kesucian hidup, kita tidak menjerit? Yaitu bagaimana kita bisa hidup suci, bagaimana kita bisa hidup tidak bercacat, tidak bercela; bagaimana kita bisa hidup berkenan kepada Allah?
Niat untuk hidup suci dan berkenan memang sudah kita miliki, namun sejujurnya, masih ada hal lain yang masih kita anggap lebih mengancam hidup kita, yaitu masalah-masalah kehidupan yang menghadang. Kalau kita menjerit untuk menjadi seorang yang berkenan, bukan berarti kita belum memiliki keselamatan. Justru karena kita sudah memiliki keselamatan, artinya dosa-dosa kita sudah ditebus oleh darah Tuhan Yesus Kristus, dimana kita sudah berkeadaan dibenarkan, tetapi kita belum benar-benar benar. Jangan karena kita merasa sudah ditebus oleh darah Yesus Kristus, lalu kita merasa semua sudah selesai. Justru baru dimulai! Kalau Yesus tidak mati di kayu salib, mau usaha baik bagaimanapun, tetap binasa. Kalau Yesus tidak mati di kayu salib, tidak ada pengadilan, tidak ada perhitungan, semua meluncur ke neraka. Tetapi dengan Yesus mati di kayu salib, ada pengadilan. Orang diadili menurut perbuatannya, artinya apakah mereka punya batin yang baik, yang tidak membahayakan bagi sesamanya. Makanya, kepada orang-orang yang berbuat baik kepada orang lain di Matius 25, mereka boleh masuk dunia yang akan datang. Tetapi bagi kita umat pilihan, target kita adalah sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus, seperti yang dikemukakan 1 Yohanes 2:6, “barangsiapa mengatakan, bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup.”
Karena kita harus memiliki kesucian seperti kesucian Allah, maka Bapa di surga berkata, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus. Jangan menyentuh apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. Kamu harus sempurna seperti Bapa di surga sempurna.” Jelas tujuan kita adalah serupa dengan Yesus dalam kualitas hidup-Nya. Karena di dalam Filipi 2:5-7 mengatakan, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh (Yun. phroneo) pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Dalam konteks jemaat Filipi, Paulus mengingatkan para jemaat untuk hidup berdampingan satu sama lain dengan mengutamakan kepentingan orang lain di atas diri sendiri. Paulus menggunakan frasa ‘pikiran dan perasaan Kristus’ untuk menggambarkan seluruh kehidupan batiniah-Nya yang menjadi contoh bagi para jemaat. Manusia batiniah sekualitas dengan Yesus inilah yang harus dimiliki oleh setiap jemaat. Dengan kata lain, standar yang harus kita capai adalah pikiran dan perasaan Kristus sendiri. Melihat senjangnya kualitas antara manusia batiniah kita dengan standar yang Tuhan kehendaki, maka kita bisa meratap, “Mengapa aku masih berkeadaan seperti ini?” Sekalipun keinginan untuk dapat hidup suci sudah ada sejak dulu, tetapi belum sampai jeritan yang tertinggi. Mengapa kita tidak menjerit dengan kuat setiap hari untuk hal ini? Jika Tuhan dan Kerajaan-Nya menjadi satu-satunya tujuan hidup, seharusnya jeritan tersebut akan mengalir secara alami dalam kehidupan kita setiap harinya.
Orang yang memandang bahwa kematian Yesus di kayu salib sudah membuat selesai segala proses keselamatan, dia tidak menyadari kesucian Allah yang luar biasa, dimana Allah menghendaki kita memiliki kekudusan, kesucian seperti kesucian dan kekudusan-Nya. Mari kita menjerit untuk hal ini. Hari ini, kita minta agar menjadi hari yang baru bagi kita. Mari kita berseru, “Tuhan, tolong aku. Lebih dari semua yang kubutuhkan, lebih dari semua yang kuperlukan, aku hanya ingin bagaimana aku berkenan di hadapan-Mu.” Hal itu menunjukkan kita menghormati Tuhan. Kita tidak memberhalakan apa pun. Inilah standar hidup yang Bapa kehendaki.
Kalau kita bisa berseru kepada Tuhan, menjerit untuk berbagai persoalan, mengapa untuk hal kesucian hidup, kita tidak menjerit?