Skip to content

Menjaga Perasaan Bapa

Saudaraku,

Rasanya setiap kita pernah mengalami saat-saat jenuh, ketika kita sudah berdoa 1 jam—misalnya—namun Tuhan seakan-akan tidak muncul dan tidak hadir, sementara fisik lemah, rasanya mata mau tidur. Tapi di dalam keadaan seperti itu, kita harus tetap tekun di hadapan Allah. Lalu, bagaimana setelah kita keluar dari ruang doa, atau bagaimana di esok harinya? Apakah kita tetap membawa perasaan ada di hadirat Tuhan tersebut di sepanjang hari-hari, jam-jam kita? Namun, banyak orang tidak menemukan heart to heart, person to person, head to head dengan Allah. Mungkin mereka tidak terlalu yakin bahwa Allah itu hidup dan hadir. Sehingga mereka tidak peduli ada perasaan yang dapat dipengaruhi, digerakkan, diwarnai oleh perilaku kita.

Padahal, menjaga perasaan Bapa adalah pelayanan yang sesungguhnya. Makanya, kalau ada orang mau melayani Tuhan, cobalah dia hidup benar dulu, layani perasaan-Nya tiap hari. Tidak usah muluk-muluk mau jadi pengkhotbah, mau jadi pengerja atau apa, tapi jika heart to heart, person to person, head to head dengan Allah belum, bagaimana bisa menaruh Tuhan di depan mata dan menghayati hadirat-Nya? Yang ada malah dia akan sembarangan dan tidak menjaga perasaan Bapa. Sejatinya, walaupun pendeta, banyak yang tidak peduli akan perasaan Allah. Kalau mau marah, dia marah saja, di mana pun dan kapan pun.

Tapi sekarang, kita takut akan Tuhan. Saudara harus memikirkan ini, betapa luar biasa posisi kita sebagai anak-anak Allah yang bisa menggerakkan perasaan Allah, betapa luar biasa. Itulah sebabnya di dalam 2 Korintus 5:9-10 Paulus mengatakan, Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan kepada-Nya. Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” Dengan kalimat lain: “Aku berusaha menyenangkan Dia!”

Mestinya semakin tua, kita semakin pecah hati di hadapan Allah, makin menyadari diri kecil dan semakin bisa menghayati Allah itu besar! Siapa kita ini?! Kalau waktu dulu kita masih muda sombong, ya bisa dimaklumi karena belum kenal Allah. Sekarang kita makin tua, maka mesti semakin menghayati Allah itu besar dan kita ini cacing Yakub. Maka tempatkan diri kita di tempat yang pantas. Kita itu hamba, anak adopsi yang mestinya hidup hanya untuk kesukaan Allah. Maka ingat, jikalau bukan Tuhan, kita tidak hidup hari ini, kita tidak ada seperti hari ini.

Tuhan bisa disenangkan, Tuhan bisa dibahagiakan, kenapa kita tidak menyenangkan Dia? Kalau kita bisa menyenangkan hati Tuhan, kita pasti disenangkan Tuhan. Kenapa kita tidak berusaha lakukan itu?! Ayo berubahlah. Setiap kita memiliki keadaan khusus, tapi Roh Kudus akan menolong kita bagaimana mewujudkan kehidupan yang menyenangkan Tuhan. Jangan menjadi manusia yang tidak menyenangkan Tuhan, celaka kita! Biar kiranya kita punya gairah untuk menyenangkan Dia. Sebagaimana anak yang berbakti, dia mau menyenangkan orang tua; ada gairah. Mestinya kita yang bertanya, “Tuhan, apa yang harus kulakukan untuk menyenangkan Engkau?” “Beritahu kehendak-Mu, ya Bapa, apa yang harus kulakukan untuk menyenangkan Engkau?”

Jangan sampai kalau sampai waktu kita habis, kita menghadap Tuhan, namun kita tidak tahu kalau kita diciptakan bagi untuk Dia. Jangan kehilangan momentum, sebab ketika kita menutup mata, maka kita tidak punya kesempatan lagi. Jadi begitu Tuhan memberi kita matahari yang terbit, itu adalah kesempatan untuk menyenangkan Bapa. Betapa berharganya kita di mata Allah, betapa bernilainya sampai Tuhan menghubungkan perasaan-Nya dengan kita. Jangan sia-siakan, Saudara-saudaraku. Masalah bisa banyak, kebutuhan bisa mendesak, tetapi hal menyenangkan Tuhan harus di atas segalanya.

 

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono

Menjaga perasaan Bapa adalah pelayanan yang sesungguhnya.