Skip to content

Menjadi Sahabat Allah

Saudaraku,

Salah satu ukuran bahwa kita bertumbuh dewasa adalah semakin tidak ada yang kita harapkan dalam hidup dan dunia ini. Kesempatan kita untuk menikmati dunia semakin sempit, dan objek kebahagiaan dari dunia ini makin sedikit. Makin hari, seiring dengan perjalanan waktu, kita akan mengerti maksudnya bahwa tidak ada lagi yang kita harapkan dari dunia ini. Ketika muda, kita berpikir banyak hal yang belum diraih, banyak hal yang belum dicapai: hal-hal yang bisa membahagiakan dirinya, pendidikan yang menghasilkan gelar, pekerjaan yang menghasilkan uang, pasangan hidup yang membuahkan kebahagiaan, anak yang melengkapi kebahagiaan, fasilitas yang menyempurnakan kebahagiaan. Dengan cara ini, manusia dibuat berutang terhadap dunia. Manusia dibelenggu, diikat, sampai pada satu titik, manusia tidak bisa tidak mengingini apa yang dunia sediakan.

Jadi, kita bisa melihat, ada orang yang makin tua makin mudah marah, makin garang. Ada kekecewaan yang tidak terungkap yang menimbulkan kemarahan dan ada kemarahan yang tidak tahu dilampiaskan ke siapa, maka masalah-masalah kecil cukup membuat ia meledakkan amarahnya. Orang seperti ini disempurnakan oleh kuasa kegelapan untuk menjadi penghuni kerajaan kegelapan. Kasihan. Sadarkah Saudara bahwa kita ini sebenarnya juga dipersiapkan oleh Iblis menjadi manusia seperti itu? Yang tidak memiliki kehausan sama sekali terhadap perkara-perkara rohani, tidak ada kehausan terhadap Tuhan. Jangan-jangan, di antara kita masih berpikir bahwa banyak hal dalam dunia ini yang belum kita raih, sehingga kita belum merasa bahagia secara lengkap. Dan ini tanda bahwa kita tidak bertumbuh dewasa.

Saudaraku,

Sadarilah, betapa singkatnya hidup ini! Dan hidup ini, tragis. Tragis bukan saja yang kita lihat dari orang lain, tapi yang kita alami sendiri. Kita menjadi orang yang kondusif diajak berkemas-kemas, diajak terbang ke Langit Baru Bumi Baru. Kondusif itu artinya suasana yang mendukung tercapainya tujuan. Tetapi kalau kita sehat, kaya, rumah tangga tidak bermasalah, semua running well, tidak mendengar Suara Kebenaran—kalaupun mendengar Suara Kebenaran, tapi tidak sungguh-sungguh berhasrat untuk mengenakan kebenaran itu—maka kita sukar masuk surga. Dengan uang banyak—seakan punya sayap yang besar—bukan untuk terbang ke Langit Baru Bumi Baru melainkan kita berpikir: “Apalagi yang bisa dibeli? Kemana lagi pergi wisata?”

Dengan uang kita bisa memerintah orang, memiliki harga diri, nilai diri, maka dipenuhilah firman Tuhan yang mengatakan, “Lebih mudah seekor unta masuk lobang jarum dari pada orang kaya masuk surga.” Jadi, mestinya dengan belajar kebenaran Firman Tuhan dan mendengar nasihat ini, kita berpikir bahwa semakin tidak ada yang kita harapkan untuk bisa membahagiakan kita. Yang pada akhirnya, kita benar-benar menjadikan Tuhan satu-satunya kebahagiaan kita. Mengerucut bahwa hanya Tuhan satu-satunya yang menjadi kebahagiaan kita, dan jika demikian, barulah kita bisa menjadi kekasih Tuhan, bisa menjadi mempelai Tuhan.

Terinspirasi kuat pikiran kita terhadap kisah Abraham. Tentu, secara psikologi, selama 25 tahun menantikan anak itu bukanlah hal yang mudah. Begitu Ishak lahir, dia punya mutiara baru. Tidak bisa dibantah, Ishak menjadi kebahagiaan Abraham. Namun ketika TUhan menyuruh Abraham untuk mengorbankan Ishak—mutiara hatinya—Abraham nurut. Dalam kitab Yakobus kita membaca bahwa Abraham menjadi sahabat Allah. Dan ternyata, Allah ingin punya sahabat yang hatinya tidak terikat siapapun, tapi terikat pada-Nya saja. Seakan-akan Allah menantang Abraham: “Kau pilih Ishak atau pilih Aku?” Pertanyaan untuk kita semua, siapa yang kita pilih?

 

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono

 

Allah ingin punya sahabat yang hatinya tidak terikat siapapun, tapi terikat pada-Nya saja.