Setiap orang memiliki peta berpikir, paradigma atau yang sama dengan pola pikir, atau sistem berpikir pada saraf-sarafnya. Peta berpikir setiap orang terbangun atau terbentuk dari—paling tidak—tiga hal, yaitu: Pertama, dari pengalaman hidup; yaitu reaksi-reaksi indra dan seluruh sarafnya terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan yang dilalui. Dari sana peta berpikir atau sistem berpikir pada saraf-sarafnya terbentuk. Kedua, dari berbagai filosofi hidup yang diserapnya di sekitarnya; filosofi agama-agama, filosofi-filosofi umum, cara pandang, etika, budi pekerti orang-orang dan khususnya pengaruh yang sangat kuat dari keluarga. Ketiga, dari gen yang dimiliki masing-masing individu dengan karakteristiknya yang khusus dan khas.
Oleh karena itu, siapa kita hari ini adalah akumulasi dari pengalaman masa lalu dan gen yang kita warisi dari nenek moyang. Dari melihat hidup seseorang, maka dapat kita lihat masa lalu perjalanan hidupnya: latar belakang keluarga, lingkungan, pendidikan, dan gen yang diwarisi dari nenek moyang atau keluarga. Kedatangan Tuhan Yesus dalam hidup masing-masing adalah hendak mengubah peta berpikir kita. Bagaimanapun rusaknya, Tuhan sanggup mengubah. Peta berpikir masing-masing kita ini beda. Contohnya, sama-sama melihat uang dalam jumlah yang sama, tapi reaksi berpikir masing-masing orang itu beda karena sesuai dengan pengalaman hidup, filosofi yang dia serap, dan gen yang dia warisi dari orang tua.
Ketika orang melihat bencana, reaksi terhadap bencana tersebut pasti sesuai dengan peta berpikir yang dimiliki atau sistem berpikir pada saraf-sarafnya. Sebagai seorang pimpinan yang bertanggung jawab atas dua gedung sekolah yang besar, ketika mencium bau hangus, pasti memiliki reaksi yang berbeda dengan orang yang tidak pernah jadi pimpinan sekolah yang bertanggung jawab atas gedung. Orang yang dibesarkan dari keluarga yang berlimpah uang, ketika melihat sejumlah uang—misalnya 20 juta—beda dengan orang yang lahir dari keluarga yang serba pas-pasan.
Kedatangan Tuhan Yesus hendak memperbarui peta berpikir kita. Inilah yang dimaksud dengan menebus kita dari cara hidup kita yang sia-sia, yang kita warisi dari nenek moyang; 1 Petrus 1:17, “Dan jika kamu menyebut-Nya Bapa, yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini.” Kata “ketakutan” di sini harus dipahami dengan benar. Kalau dulu kita bisa bereaksi apa pun yang kita mau atau sesukanya melakukan dan memikirkan apa pun, sekarang tidak boleh begitu lagi karena kita sudah ditebus dan menjadi anak-anak Tuhan.
Seperti misalnya seorang anak gelandangan diadopsi oleh seorang jutawan. Kalau dulu sebagai anak gelandangan, dia bisa bicara apa saja, bisa pakai baju apa saja, bisa makan apa saja dengan cara makan bagaimanapun, namun setelah jadi anak jutawan akan berbeda. Masalahnya, dia sudah terbiasa dengan cara anak gelandangan. Oleh sebab itu, ia harus belajar menjadi anak jutawan. Kalau dulu ia tidak perlu takut saat hendak melakukan apa saja, sebab tidak ada yang terpengaruhi. Sekarang, setelah jadi anak jutawan, ia tidak bisa sembrono sebab sang ayah yang mengadopsinya akan terganggu. Tuhan itu responsif dan reaktif. Setelah kita menjadi anak-anak Tuhan, Ia menuntut kita menjadi orang yang hidup sesuai dengan panggilan kita.
1 Petrus 1:18, “Sebab kamu tahu bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu, bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat.” Karena kita telah ditebus dari cara hidup kita yang sia-sia, maka kita tidak boleh lagi memiliki cara hidup yang sia-sia.
Jadi, Tuhan berhak menuntut karena kita telah dibeli oleh-Nya, dan kita harus takut sebab kita telah dibeli. Tentu untuk ini ada proses penebusan. Namun untuk dapat ditebus dari cara hidup yang sia-sia, dibutuhkan aktivitas dari kedua belah pihak, yaitu Tuhan melalui Roh Kudus yang menuntun kita kepada segala kebenaran, dan kita juga harus memberi diri untuk diperbaharui dari hari ke hari. Inilah mandat yang Tuhan berikan kepada murid-murid-Nya, “Pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku.”