Bagi orang yang sungguh-sungguh mau hidup benar, hidup suci, hidup menyukakan hati Allah adalah tidak mudah untuk mencapai dan menjalaninya. Jadi kalau kita tidak sungguh-sungguh, maka kita tidak akan pernah hidup di dalam kekudusan, kesucian, menyenangkan hati Allah; tidak akan pernah. Firman Tuhan mengatakan bahwa hanya orang yang haus dan lapar akan kebenaran yang dipuaskan. “Haus dan lapar akan kebenaran” artinya sangat membutuhkan, karena hal itu menentukan kehidupan. Sangat membutuhkan hidup dalam perkenanan Tuhan. Kita harus menganggap tidak ada sesuatu yang mutlak, tidak ada sesuatu yang absolut—memiliki barang-barang dunia, jabatan, kedudukan, pangkat, menikah, punya anak, dan lain sebagainya.
Sebab yang mutlak itu hanya satu, yaitu bagaimana kita dapat menjadi ciptaan Allah, menjadi anak-anak Allah yang benar-benar melayani Dia; melayani perasaan Allah, menyenangkan hati Allah, benar-benar berkenan di hadapan Allah Bapa. ‘Kehausan’ itu harus terus kita nyalakan, bukan hanya pada waktu kita sedang berdoa dan mengucapkan janji-janji, ucapan-ucapan manis di hadapan Allah, melainkan detik, menit, jam, hari hidup kita terus dipenuhi dengan kerinduan untuk bisa menyenangkan hati Allah. Mari kita nyalakan itu, maka barulah kita sungguh-sungguh dapat menjadi man of God (manusia Allah) yang berkeadaan segambar dan serupa dengan Allah, sesuai dengan maksud rancangan Allah semula.
Ayo, kita tambahkan jumlah orang yang menyenangkan hati Allah secara benar, dan orang itu: kita! Selalu kita berpikir bahwa kita adalah orang terakhir yang ditunggu menjadi anak-anak Allah yang sungguh-sungguh menyenangkan hati-Nya. Sungguh-sungguh menyenangkan hati Allah. Setelah itu kita akan mengajak orang lain—yang sama dengan menjala jiwa, menyelamatkan jiwa—agar mereka juga bisa menjadi anak-anak Allah yang menyenangkan hati Allah. Bukan hanya menjadi anggota gereja, atau hanya menjadi orang Kristen, melainkan benar-benar menjadi makhluk ciptaan yang melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah sebagai Sang Khalik atau Sang Pencipta. Inilah kerja buat Tuhan.
Setelah kita mengubah diri dan mengalami perubahan, maka kita juga menjadi alat di dalam tangan Tuhan untuk mengubah orang lain. Inilah pelayanan yang sesungguhnya. Bukan hanya mengadakan kebaktian, lalu datang ke satu gereja, atau berkhotbah. Harus jelas tujuannya, yaitu mengubah manusia. Dan ini bisa terjadi hanya karena pekerjaan Roh Kudus. Karunia-karunia yang dahsyat, yang menakjubkan, bukan hal utama. Karunia Roh, dibutuhkan bagi membangun iman jemaat, tapi ‘buah roh’ lebih kita butuhkan dan benar-benar kita peragakan.
Maka, selagi masih ada kesempatan kita harus berjuang untuk ini, bagaimana menjadi anak kesukaan Allah, menyenangkan hati-Nya. Dan kita selalu memandang ini sebagai kebutuhan mutlak dan absolut. Jadi kita bisa mengerti, mengapa firman Tuhan mengajarkan kita: “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:26). Kita menyadari betapa rusaknya, betapa sudah tidak pada proporsinya keadaan diri kita ini. Betapa rusaknya sebenarnya, dengan segala kelicikan yang ada di hati kita, dengan ikatan-ikatan nafsu yang ada dalam daging kita.
Karenanya kita terus mau mencari wajah Tuhan, berdoa, merendahkan diri agar kita tidak jatuh dalam dosa, dan tidak melukai hati Tuhan. Tetapi sebaliknya, kita selalu menyenangkan hati Allah dan menemukan pekerjaan-Nya yang harus kita selesaikan, menemukan proyek-proyek rohani, proyek-proyek Kerajaan Allah yang harus kita tunaikan dan selesaikan. Dan tentu proyek-proyek itu bermuara pada mengubah manusia. Bukan sekadar melakukan kegiatan gereja atau kegiatan pelayanan gereja, melainkan bagaimana kita dapat mengubah manusia.
Mari kita berjuang untuk percepatan perubahan kita. Kita minta percepatan perubahan kita dan percepatan jiwa-jiwa yang diselamatkan, jiwa-jiwa yang dimenangkan. Pekerjaan ini besar, dan ini tergantung kita, mau seberapa tinggi mencapai kehidupan dalam kekudusan, kesucian, dan keberkenanan di hadapan Allah. Tergantung kita masing-masing, seberapa luas jelajah pelayanan kita, dan seberapa banyak jiwa yang dapat kita bawa ke hadirat Allah. Tergantung kita, seberapa kita sungguh-sungguh mau benar-benar mencapai kehidupan yang menyenangkan hati Allah. Kalau hari ini Tuhan masih memberi kita hari yang baru, mari kita berjuang dengan semangat baru.