Skip to content

Mengisi Hari Hidup

 

Di dalam Alkitab, kita menemukan berkali-kali Tuhan menunjukkan bahwa proses merupakan tatanan hidup, tatanan ilahi yang berlaku bukan hanya atas karya manusia, melainkan juga karya Tuhan. Tuhan menciptakan langit dan bumi pun secara bertahap, tidak seketika dalam satu saat semuanya terjadi. Pendewasaan rohani, pendewasaan iman yang dialami oleh tokoh-tokoh Alkitab secara individu dan umat Israel secara komunitas juga melalui proses. Termasuk yang dialami oleh Tuhan Yesus sendiri juga melalui proses. Kita dapat menemukan bagaimana proses itu berlangsung atas kehidupan Yesus; Lukas 2:40, “Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya;” Lukas 2:52, “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” Juga dalam Ibrani 5:7-9 tertulis bahwa Yesus belajar untuk mencapai kesempurnaan. 

Dalam hal mengumpulkan harta di surga, Yesus pun menunjukkan secara implisit atau secara tersirat, bukan mendadak seseorang dapat memiliki kekayaan surgawi, melainkan melalui sebuah proses pengumpulan. Dalam Roma 12:2, perubahan kehidupan orang percaya juga melalui proses, yaitu proses metamorfosa. Di sini kita melihat betapa berharganya waktu yang Tuhan berikan, maka harus kita isi dengan kegiatan-kegiatan hidup yang memiliki buah atau dampak kekal. Yang memang pada saat kita mengisi hari, mengisi waktu kita, rasanya tidak akan berdampak apa-apa atau tidak berdampak banyak, tetapi apa yang ditabur seseorang itu akan dituainya. Itu juga hukum. Galatia 6:7, “Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan, karena apa yang ditabur orang itu juga akan dituai-Nya.”  

Kiranya pikiran kita dibukakan oleh Roh Kudus terhadap kebenaran ini, sehingga kita bukan hanya mendengar dan mengerti, melainkan kita memberi respons yang benar terhadap apa yang kita baca hari ini, sebab hidup ini luar biasa, dahsyat. Dan Allah yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah yang luar biasa, dahsyat. Maka kita tidak boleh menganggap remeh hidup ini. Jangan kita buat menjadi tidak bernilai dengan mengisi waktu hidup kita untuk hal yang sia-sia, yang tidak berdampak kekal. Jadi kalau kita mengerti bahwa hidup ini singkat, kita semua pasti akan ada di ujung perjalanan waktu, di mana kita harus mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di hadapan Allah. Maka kita harus mulai sungguh-sungguh menabur apa yang baik. 

Semua kita pasti setuju bahwa kita mau hidup dekat dengan Tuhan, hidup berkenan di hadapan-Nya. Namun sadarkah kita bahwa hal itu tidak bisa kita capai dalam sesaat? Kita mau hidup suci, tak bercacat, tak bercela, sungguh-sungguh melayani Tuhan, menyenangkan hati-Nya, tapi hal itu harus melalui proses. Bagaimana seseorang bisa menghayati Allah yang hidup, Allah yang benar-benar ada, itu juga tidak mudah. Dari kecil, kalau di lingkungan orang beragama, mereka dididik dengan pengajaran atau pelajaran agama bahwa Allah itu ada. Tetapi, menghayati bahwa Allah itu ada ternyata tidak mudah. Hal itu nampak dari perilaku orang tersebut, dari buah-buah hidup seseorang kita dapat melihat apakah ia benar-benar meyakini Allah ada atau tidak. Buah hidup orang yang meyakini bahwa Allah itu ada akan berbeda dengan orang yang tidak meyakini secara benar bahwa Allah itu ada. 

Meyakini bahwa Allah itu ada bukan sesuatu yang mudah, sebab kenyataannya banyak orang beragama dan mengaku Allah itu ada, tapi perbuatannya tidak menunjukkan bahwa dia yakin Allah itu ada. Kalau Allah itu ada berarti mata Tuhan melihat, maka dia tidak akan melakukan tindakan-tindakan bodoh seperti yang dia lakukan. Untuk membangun keyakinan bahwa Allah itu ada, untuk membangun kehidupan tak bercacat, tak bercela, kehidupan dalam kesucian, berkenan di hadapan Allah, menjadi hamba Tuhan yang baik, harus melalui perjuangan, melalui proses, melalui tahapan-tahapan di mana kita harus mengisi waktu hidup kita dengan baik, dengan bijaksana, dengan benar, menabur.

 

Kita bisa melihat orang-orang yang sudah telanjur berumur, tetapi tidak terdidik sejak muda. Walaupun sekarang dia menjadi pendeta, hamba Tuhan, pimpinan, tapi dia tidak menyadari keadaannya. Pengalaman masa lalu—terutama pengalaman masa lalu yang negatif—membentuk kepribadian yang tidak mudah diubah. Kalau ia tidak sempat mengalami proses kesembuhan, pasti hidupnya berduri. Karena ia belum selesai dengan dirinya, maka sikapnya melukai orang, tapi dia tidak sadar. Maka, kalau mau benar-benar mengalami proses perubahan, kita harus benar-benar bertemu dengan Tuhan, dan digarap oleh Tuhan. Itu pun melalui proses.