Ingat peristiwa Lot, bagaimana Lot berlama-lama. Dia tidak segera menuruti apa yang utusan Yahweh perintahkan, untuk segera keluar dari Sodom dan Gomora, sehingga malaikat harus memaksanya keluar dari Sodom. Dan itu masih dalam radius di mana istrinya bisa menoleh dan akhirnya binasa. Belajar dari peristiwa Lot, kita dapati bahwa kalau kita tidak berkemas-kemas dengan benar, kita akan gagal fokus, sehingga kita gagal menyelamatkan diri dan gagal menyelamatkan orang lain. Kalau kita selalu memetakan hidup kita—hari ini mau ke mana, melakukan apa, dengan siapa—berarti kita sedang belajar untuk tenggelam di hadirat Tuhan.
Kita harus mempersiapkan diri untuk menjadi jurubicara Tuhan, untuk tenggelam di hadirat Tuhan, tidak boleh melakukan hal yang tidak perlu kita lakukan. Supaya di mana pun kita berada, kita bisa menghadirkan hadirat Tuhan. Maka, kita harus memetakan waktu saya dengan baik, memetakan hidup saya dengan baik. Terlebih bagi para hamba Tuhan yang melayani mimbar. Jangan lakukan hal-hal yang tidak membuat kita ada di hadirat Allah, jangan menunda, jangan berlama-lama hidup dalam sikap yang tidak berjaga-jaga dan tidak berkemas-kemas.
Kita harus berani pamit dari teman-teman dan sahabat-sahabat yang tidak takut Tuhan. Mungkin tidak kita ucapkan, tapi hati kita yang pamitan. Pamit terhadap tontonan-tontonan yang tidak perlu kita tonton. Pamit terhadap semua hal yang menyita waktu kita. Jangan sampai kita melakukan tindakan hanya karena kita mau mengisi waktu. Sebab sejatinya yang kita lakukan itu sebenarnya membunuh kita sendiri. Kita tidak boleh ‘membunuh waktu’ dengan pekerjaan yang sia-sia, tapi kita harus ‘menghidupkan waktu’ dengan mencari hadirat Tuhan. Memiliki perasaan krisis terhadap diri sendiri, bagaimana mengalami perubahan. Kita harus memetakan hari hidup kita untuk hal yang benar-benar membangun iman.
Dan jika kita melakukan hal itu, maka kita benar-benar akan memiliki perasaan cemas, perasaan krisis terhadap gelombang besar orang yang menuju kegelapan. Jika tidak, kita menyia-nyiakan kehidupan kita. Kita harus berani berbeda, nekat senekat-nekatnya, tanpa batas. Dan ini adalah persiapan untuk kita pulang ke surga. Kalau kita hidup di hadirat Allah, kita tidak takut menghadapi apa pun, termasuk kematian. Kita harus segera memiliki langkah-langkah konkret, merespons dengan benar nasihat Tuhan ini. Jangan hanya “setuju, iya,” tapi kita tidak melakukan apa-apa. Kita harus menemukan sukacita di hadirat Allah.
Setelah kita menyelesaikan suatu kegiatan, kalau kita melihat ada waktu kosong untuk bertemu Tuhan, betapa menyenangkan waktu itu. Dan betapa menyenangkannya hari-hari dimana kita bisa berdoa dan berpuasa. Mari kita hidup di hadirat Tuhan. Kita akan sangat menyesal ketika menutup mata, ternyata ada di luar hadirat Tuhan. Dan tidak mungkin dadakan kita lalu bisa pindah masuk ke hadirat Allah, tidak bisa. Kalau kita ada di luar hadirat Allah ketika masih hidup di bumi—padahal kita punya kesempatan untuk ada di hadirat Allah, namun kita tidak melakukan—kita mati, kita tidak mungkin ada di hadirat Tuhan. Ini kesempatan yang sangat berharga. Orang bisa beli tiket mahal untuk sebuah menonton sebuah pertunjukan, bisa berharga puluhan juta, bahkan sampai ke luar negeri untuk menyaksikan pertunjukan itu.
Berada di hadirat Tuhan, harganya darah Yesus. Lalu mengapa kita tidak melakukannya? Kalau kita hidup di hadirat Allah, kita adalah manusia yang mulia; lebih dari orang kaya, orang terkenal, orang hebat manapun. Usahakan diri kita untuk selalu hidup di dalam kekudusan dan ada di hadirat Allah, sampai kita bisa menikmati kebahagiaan hidup di hadirat Allah itu. Dan ini bukan fantasi. Memang banyak Kristen fantasi, Tuhan difantasikan. Tetapi, kita mengalami. Memang untuk menembus batas sampai kita mengalami bahwa Tuhan itu hidup dan nyata, perlu waktu, perjuangan, kesabaran, kesetiaan, ketekunan tanpa batas. Tapi Dia Allah yang hidup. Dia ada. Dan kalau kita yakin Dia ada, kita harus menjumpai-Nya.
Sebesar apa masalah kita sampai kita menjadi ketakutan, khawatir, cemas? Yang harus kita takutkan, khawatirkan dan cemaskan adalah diri kita yang tidak memiliki hubungan yang harmoni dengan Dia. Dan kalau kita memiliki ketakutan, kekhawatiran dan kecemasan seperti ini, barulah kita bisa mencemaskan orang lain; merasa cemas dan khawatir untuk keselamatan jiwa orang lain. Lalu mengapa kita tidak mau mencari hadirat Allah, hidup di dalam lingkaran Tuhan? Mengapa kita tidak berjuang untuk itu? Ingat, kalau kita tidak hidup di hadirat Tuhan sejak di bumi, kita tidak akan hidup di hadirat Tuhan selama-lamanya. Maka, jangan keluar dari hadirat Tuhan. Kalau kita hidup di hadirat Allah, Allah pelihara kita luar biasa.
Kita tidak boleh ‘membunuh waktu’ dengan pekerjaan yang sia-sia,
tapi kita harus ‘menghidupkan waktu’ dengan mencari hadirat Tuhan.