Skip to content

Menggelapkan Mata Hati

Sejujurnya, pernahkah kita memperkarakan apakah Tuhan merasakan dan menikmati cinta kita? Sebagai orang tua, kita tahu bagaimana anak-anak kita memperlakukan kita ketika mereka berbuat sesuatu, dan perbuatan itu sebagai ungkapan atau ekspresi tindakan cintanya kepada kita sebagai orang tua. Dan sebaliknya, kalau anak-anak kita tidak memperlakukan kita secara patut, melawan, berani memarahi, atau tindakan-tindakan lain yang menyakitkan, orang tua juga merasakan itu, dan ini melukai.

Allah sebagai Bapa dan kita sebagai anak, sejatinya hubungan itu mengandung konsekuensi yang serius yang selama ini mungkin tidak kita pikirkan karena kita berpikir secara kanak-kanak. Kita tahu bahwa Bapa yang baik pasti memelihara, melindungi, menjaga, memenuhi segala kebutuhan anak-anak-Nya. Bahkan mungkin hanya mau menyenangkan kita. Sebagai anak, kita harus memperlakukan Bapa cara patut, menempatkan diri sebagai anak secara patut, dan tentu saja, memenuhi bagian kita sebagai anak. Sampai Bapa merasakan bahwa hubungan kita dengan Bapa benar-benar hubungan yang harmoni. 

Bapa mengakui dan merasakan cinta dan ketaatan Tuhan Yesus sehingga pada akhirnya Bapa berkata, “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nya aku berkenan.” Dengan kalimat lain, Yesus menyenangkan dan meyukakan hati Bapa. Siapapun kita, berapapun usia kita—bagi yang muda jangan berpikir terlalu dini di usia mudamu—di mana pun, kita selalu diperhadapkan kepada banyak keinginan, namun pikirkan apa yang diinginkan Allah di dalam hidup kita untuk kita penuhi, guna memuaskan hati Tuhan, Allah Bapa, dan sebagai bukti cinta kita kepada Bapa.

Pangkas, buang semua keinginan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Teladani Yesus yang sejak usia muda-Nya menjaga hidup sampai pada satu titik Bapa menyatakan bahwa Dia Anak yang dikasihi-Nya. Kita harus sungguh-sungguh berjuang memperkarakan hal ini: apakah hidup kita benar-benar dinikmati oleh Allah karena kita mencintai Dia? Dan untuk Allah dapat merasakan cinta kita tentu tidak cukup dengan kata-kata, ucapan, nyanyian, tapi dengan sikap dan perbuatan. Apa yang harus kita lakukan untuk benar-benar bisa menyenangkan hati Bapa?

Ingat peristiwa Abraham mempersembahkan anaknya Ishak? Juga ucapan Tuhan Yesus, “Barangsiapa mempertahankan nyawanya, dia kehilangan nyawa, tapi barangsiapa kehilangan nyawa karena Aku, dia memperoleh nyawa.” Abraham rela menyerahkan anaknya Ishak, lalu apakah dia kehilangan Ishak? Tidak. Apa yang dijanjikan Allah kepada Abraham, bahwa keturunannya akan sebanyak pasir di laut dan sebanyak bintang di langit, terwujud.

Kalau pada hari itu Abraham menolak mempersembahkan anaknya Ishak dengan berbagai alasan, mungkin Abraham tidak pernah jadi nenek moyang Mesias. Dan apa yang dijanjikan Allah tidak pernah tergenapi karena Abraham tidak layak menerima penggenapan janji itu. Apakah kalau kita kehilangan apa yang paling kita cintai, lalu kita menjadi miskin dan susah? Justru tidak. Allah mencari orang-orang yang benar-benar mengasihi Dia di akhir zaman ini, di mana dunia bertambah jahat. 

Dalam 2 Timotius 3:1-5 dikatakan bahwa ciri pertama orang yang tidak mengasihi Bapa adalah mencintai dirinya sendiri. Di tengah dunia kita yang rusak, yang pasti membawa pengaruh dalam hidup kita, kita tengadah kepada Tuhan yang tidak kelihatan, yang seakan-akan tidak ada, dan berkata, “Bapa, apa yang Kau ingini harus kulakukan? Apa yang Kau ingini harus aku perbuat?” Yang bertanya belum tentu mendapatkan jawaban dengan mudah dan cepat, apalagi jika kita tidak punya niat untuk memberikan hidup bagi Tuhan. Suatu saat, ketika orang bertemu dengan Tuhan, ia akan menyesal kenapa dia tidak memberikan hidupnya. Dia akan berkata, “Apa pun akan kuberikan, Tuhan, kalau tahu begini,” tapi terlambat. Seperti orang kaya di Lukas 16.

Kita harus mencintai Tuhan seekstrem mungkin. Kita mau menjangkau Allah yang tidak berubah. Allah yang memerintahkan Abraham mempersembahkan anaknya, Ishak. Dan kita berani bertanya, “Ishak apa dalam hidupku yang harus kupersembahkan sebagai bukti cintaku kepada-Mu?” Namun, sedikit sekali orang yang berani berbuat demikian. Bagi Abraham, Ishak adalah nyawanya, tapi dia bersedia memberikan nyawanya untuk Tuhan. Mungkin nyawa bagi kita bukanlah uang, melainkan perasaan harga diri, keinginan daging yang harus disembelih, atau hasrat-hasrat yang Tuhan tidak kehendaki yang harus dibakar seperti korban bakaran. Perkarakan itu.

Jangan sampai persoalan hidup menggelapkan mata hati kita, sehingga kita tidak memperhatikan apa yang bisa menyenangkan hati Allah. Hanya karena kita terus terbelenggu, terbelit dengan persoalan itu yang ternyata tidak akan pernah tidak ada persoalan, selalu ada. Baiklah kita terpaku dengan Tuhan dan memperkarakan, “Apakah Tuhan merasakan cintaku dan menikmati?” Kalau kita memperkarakan hal ini dengan sungguh, maka ketika kita berbuat kesalahan, kita merasa sakit sekali. Dan akhirnya, kita katakan, “Apa pun yang Kau kehendaki untuk kulakukan, akan kulakukan.”

Jangan sampai persoalan hidup menggelapkan mata hati kita, sehingga kita tidak memperhatikan apa yang bisa menyenangkan hati Allah.