2 Korintus 5:14 mengatakan, “Sebab kasih Kristus yang menguasai kami, karena kami telah mengerti, bahwa jika satu orang sudah mati untuk semua orang, maka mereka semua sudah mati.” Di dalam Kolose 3:3, “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah.” Kedua surat ini merupakan surat pastoral atau surat penggembalaan yang ditulis oleh Rasul Paulus, yang kita tidak ragukan hikmat dan marifatnya serta ilham roh yang menguasai hidupnya, sehingga Allah memercayakan kebenaran-kebenaran-Nya melalui rasul ini. Ayat ini terkait dengan Galatia 2:19-20, “Sebab aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat, supaya aku hidup untuk Allah. Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”
Sebenarnya, menjadi orang Kristen itu harus sungguh-sungguh rela kehilangan hidup, prinsip-prinsip hidup dengan berbagai filosofi yang kita warisi dari nenek moyang. Lalu, mata kita harus tertuju kepada Injil untuk menyerap apa yang Injil ajarkan kepada kita, supaya manusia lama kita ini benar-benar ditanggalkan dan kita mengenakan manusia baru. Benar-benar kita mengalami kematian. Efesus 4:22 menuliskan, “Yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan, supaya kamu dibarui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
Kita seharusnya rela kehilangan hidup, rela tidak memiliki hidup atau kehidupan agar model hidup yang Allah kehendaki itu sepenuhnya kita kenakan. Dan model hidup atau model kehidupan yang harus kita kenakan itulah model kehidupan yang dikenakan oleh Yesus. Maksudnya, bagaimana hidup di dalam penurutan terhadap kehendak Allah. Roh Kudus akan menuntun kita. Tapi kita harus tahu dulu, bahwa kita harus mati. Manusia lama kita harus kita tanggalkan. Kita harus benar-benar mengenakan manusia baru dengan prinsip-prinsip kebenaran yang Alkitab ajarkan kepada kita, oleh pimpinan Roh Kudus tentunya, supaya kita menjadi manusia yang baru, mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.
Kalau di kebaktian-kebaktian kebangunan rohani, sering diakhiri dengan nyanyian “Aku berubah, sungguh ‘ku berubah. Yang kukasihi dulu lenyap, yang baru sekarang aku kenakan atau aku miliki.” Tetapi itu menjadi fantasi saja. Kenyataannya, kita tidak mengejar atau memburu bagaimana manusia baru yang harus kita kenakan menurut kehendak Allah itu. Apalagi, kalau pengkhotbah atau pembicara tidak mengalami proses kematian itu. Maka ia tidak akan bisa mengimpartasi, tidak akan bisa menularkan. Dan sekolah teologi tidak mematikan manusia lama atau kurang serius memperhatikan kematian manusia lama ini. Karena sudah menjadi pendidikan yang bersifat akademis. Yang standar akademisinya tentu disesuaikan dengan standar akademis ilmu sekuler. Padahal, di sekolah teologi itu ada proses penggarapan Allah atas masing-masing individu agar mengalami perubahan kodrat; supaya kodrat manusia lamanya itu mati, lalu mengenakan kodrat baru, yaitu kodrat ilahi.
Kalau seseorang masih mengharapkan kebahagiaan dari dunia ini, masih merasa layak mendapat pujian atau sanjungan, masih merasa pantas untuk dihormati, dilayani, berarti dia belum mati. Maka, kita harus dalam satu kesadaran terus-menerus bahwa kita ada di hadirat Allah. Dan cirinya adalah pertama, kita tidak takut menghadapi apa pun. Yang kedua, kita pasti hidup di dalam kesucian Allah. Yang ketiga, pasti kita punya pikiran perasaan Allah; sikap kita terhadap orang lain pasti tepat. Maka kalau Allah itu hidup, kita bisa menarik kehadiran-Nya di dalam hidup kita. Apalagi sebagai seorang pendeta yang berdiri atau di depan jemaat ini, dia harus mewakili Tuhan. Kalau setiap hari tidak berjalan dengan Tuhan, tidak mungkin dia mewakili Tuhan.
Maka dalam setiap percakapan, tidak boleh ada kata yang tidak patut kita ucapkan. Perasaan kita terhadap orang lain, pikiran kita terhadap sesama kita, tidak boleh meleset. Harus pikiran perasaan Kristus. Jadi, jangan hanya karena punya ilmu tentang Tuhan, maka kita merasa cukup. Kalau hanya pengetahuan tentang Tuhan, kita tidak mungkin bisa mengenakan pribadi-Nya. Secakap bagaimanapun kita mengerti isi Alkitab dari ilmu, tapi bila tidak bertemu langsung Tuhan, maka tidak mungkin kita terpapar, terimpartasi, tertular sifat, pikiran, perasaan Allah. Belum lagi cara berpikir dunia sudah telanjur merusak pikiran banyak orang sejak kanak-kanak, remaja, dan pemuda.