Skip to content

Mengalami Kedahsyatan Tuhan

 

Hidup kita hanya satu kali, tidak pernah terulang, dan singkat. Kenyataan hidup yang satu kali dan singkat ini adalah sesuatu yang kita harus pandang luar biasa dan benar-benar dahsyat. Di dalam kehidupan yang hanya satu kali dan singkat ini, Allah menyediakan kedahsyatan yang tentu diharapkan dialami oleh kita sebagai umat pilihan. Hidup ini hanya satu kali, singkat, dan dahsyat. Dan kedahsyatan hidup terletak pada Tuhan sendiri, yaitu Tuhan yang hadir di dalam hidup kita yang hanya satu kali dan yang singkat. Tentu tidak banyak orang mengalami kedahsyatan hidup ini, yang sama artinya tidak banyak orang yang mengalami Tuhan. Tentu kita ingin mengalami Tuhan.

Bagaimana kita bisa mengalami kedahsyatan atau mengalami Tuhan? Yang pertama, kita harus melewati badai. Tuhan tidak pernah berjalan hanya di angin sepoi-sepoi, tetapi Tuhan lebih banyak berjalan dalam badai. Kita tidak akan pernah menemukan Tuhan kalau hanya menikmati angin sepoi-sepoi nan sejuk. Justru Tuhan lebih banyak ada di dalam badai. Di dalam badailah seseorang menemukan Tuhan. Orang-orang hebat adalah orang-orang yang dibawa Tuhan berjalan dalam badai. Ia tidak akan mengalami kedahsyatan Allah kalau tidak ada badai. Justru di dalam badai, Allah menyatakan diri-Nya. 

Ingat, apa yang dikatakan Tuhan kepada Musa: “Hari ini, Aku akan menunjukkan kebesaran-Ku. Aku membelah Laut Kolsom.” Itu badai yang dialami Musa dan bangsa Israel, ketika mereka dalam keadaan terjepit di pantai Laut Teberau. Sementara Firaun dengan algojo-algojonya, dengan kereta perang dan kuda-kuda yang kuat, mengejar bangsa Israel. Umat Israel pasti mati, karena tidak ada jalan, mereka terpojok di depan laut. Jika mundur, pasti mereka bertemu dengan prajurit Firaun, sementara di kanan-kiri mereka bukit, sehingga mereka tidak bisa lari. Itulah badai kehidupan. 

Di saat yang sangat kritis itulah Tuhan menurunkan awan-Nya. Mereka bisa melihat awan Tuhan yang hadir yang membatasi Firaun dan tentaranya, dengan bangsa Israel. Mereka tidak pernah melihat laut yang dibelah. Tetapi Tuhan membawa mereka mengenal-Nya lewat badai. Badai kehidupan menjadi media atau ruangan Allah memperkenalkan diri-Nya. Jadi, terimalah badai sebagai ruangan indah atau sebagai taman penuh berkat, karena ada kedahsyatan Allah hadir di situ.  Memang Allah tidak kelihatan, sedangkan masalah di depan mata. Tetapi di situlah kita dibawa Tuhan kepada ruang pertemuan dengan Allah. Badai itu merupakan ruang pertemuan di mana kita belajar memercayai Dia. Dari badai itulah orang mengenal Allah; kesetiaan-Nya, kuasa-Nya, kasih sayang-Nya. 

Dan tahukah kita bahwa badai itu berkat? Tidak banyak orang yang mengalami badai sekaligus pengertian untuk mengenal dan memahami Dia melalui badai itu. Kitalah orang yang dikasihi Tuhan untuk mengenal kebenaran ini dan menyambut setiap badai sebagai ruangan di mana kita berjumpa dengan Tuhan. 

Yang kedua, kesucian hidup. Jangan main-main, kita akan punya kesempatan mencuri, balas dendam, berzina, membanggakan diri, berebut hormat dan kedudukan, tapi di situlah Tuhan menantang, “Siapa yang kamu pilih?” Tanpa kesucian atau kekudusan, tidak seorang pun melihat Allah (Mat. 5:8). Kesucian kita harus sempurna. Memang mudah mengucapkannya, tetapi betapa sulit melakukannya. Kita harus menemukan kejahatan dan kelicikan di dalam diri kita, yang muncul pada saat-saat tertentu. Dan herannya, monster kejahatan di dalam diri kita tahu momentum atau saat yang baik di mana ada rangsang dosa; ada kesempatan dosa. Kebengisan-kebengisan kita terhadap orang, kelicikan-kelicikan kita demi keuntungan diri, dsb. Di dalam diri kita, ada kelicikan. Kita harus berani membuangnya. Dan itu membuat kita mengerti apa artinya menjadi seperti anak-anak di hadapan Bapa. Polos, apa adanya, natural.

Kalau kita tidak dibentuk Tuhan lewat badai, maka kita tidak mengenali kelicikan-kelicikan yang ada pada kita. Jika kita bisa ‘mengendus’ kelicikan seseorang, sehalus apa pun, itu karena kita pernah memiliki kelicikan tersebut. Kita tidak akan pernah mengenal Allah dengan benar selama ada kelicikan-kelicikan, sekecil apa pun kelicikan itu, sekecil apa pun dosa itu. Kadang-kadang bukan dosa halus atau dosa kecil, melainkan dosa besar pun tidak disadari. Dosa kesombongan terselubung; tidak ‘diendus,’ tidak mampu mendeteksi. Mengapa? Karena tidak melekat dengan Tuhan, tidak merasakan kehadiran dan kesucian Allah. Kalau terus-menerus tiada henti kita mencari wajah-Nya, baru kita bisa mengendus kesucian Tuhan.