Kematian tidak bisa kita kalahkan dengan kehidupan. Manusia pasti mati. Namun banyak orang mencoba “mengalahkan” kematian dengan membuat hidupnya berbunga-bunga di dunia ini, seakan-akan kesempatan hidup hanya sekali di bumi. Mereka mengejar kesenangan sebanyak-banyaknya sebelum mati. Tetapi, pada akhirnya, mereka tetap mati. Kematian hanya bisa dikalahkan dengan kematian. Maksudnya, sebelum kita mati secara jasmani, kita harus lebih dahulu mematikan kedagingan kita: mematikan nafsu, ambisi, serta cara berpikir yang salah.
Kita tidak bisa mengalahkan kematian dengan kehidupan di bumi, sebaliknya, kematian harus kita kalahkan dengan kematian di bumi. Yaitu kematian dari manusia lama, sehingga dengan demikian barulah kita hidup. Alkitab berkata: “Matikan segala sesuatu yang duniawi dalam dirimu … Kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama-sama dengan Dia” (Kolose 3:3-4). Namun mengapa hal ini jarang diajarkan? Karena banyak orang menghindari penderitaan, menghindari kematian. Padahal Tuhan justru menghendaki kita masuk dalam proses kematian, seperti yang dikatakan Paulus: “serupa dengan Yesus dalam kematian-Nya” (Filipi 3:10).
Kita patut bersyukur karena Tuhan menempatkan kita di tempat yang tepat untuk menemukan kebenaran ini dan memiliki hidup kekal. Karena itu, di gereja jangan lagi hanya sibuk soal berkat-berkat jasmani. Ada tatanannya: bila kita bekerja keras, jujur, dan bertanggung jawab, kebutuhan pasti tercukupi. Bukankah Tuhan memberi matahari kepada orang baik dan orang jahat, menurunkan hujan kepada orang benar dan orang fasik? Berapa banyak yang kita kumpulkan tergantung ketekunan kita. Buktinya, orang-orang yang tidak mengenal Tuhan pun bisa “eksis” dalam dunia. Jadi, tugas gereja dan hamba Tuhan adalah mengajarkan kebenaran yang murni, supaya jemaat tidak menghidupkan manusia lama, melainkan mematikannya.
Jangan sibuk memikirkan perkara dunia. Dunia memiliki hukum dan tatanannya sendiri. Jika kita berharap doa pendeta membuat kita berlimpah secara materi, itu kebodohan. Perhatikan Abraham. Secara manusia, ia ibarat “kartu mati.” Tetapi Ibrani 11:8 berkata: “Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya; lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.” Karena iman, Abraham meninggalkan Ur-Kasdim—sebuah wilayah metropolis yang sangat maju pada zamannya. Hari ini, arkeologi membuktikan bahwa lembah Sumeria, tempat kota Ur berada, adalah daerah yang subur dan maju sekitar 2000 SM. Abraham mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk menuruti panggilan Allah, tanpa tahu ke mana ia harus pergi. Namun ia percaya sepenuhnya kepada Elohim Yahweh.
Ayat selanjutnya: “Karena iman ia diam di tanah yang dijanjikan itu seolah-olah di suatu tanah asing; dan di situ ia tinggal di kemah bersama Ishak dan Yakub, yang turut menjadi ahli waris janji yang satu itu. Sebab ia menanti-nantikan kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah.” Abraham tidak membangun rumah permanen, melainkan hanya kemah. Bukan karena ia tidak mengerti rumah, melainkan karena ia sadar bahwa ia hanyalah orang asing. Ia menanti kota yang direncanakan Allah sendiri. Dunia ini bukan tempat yang layak dijadikan tujuan. Itulah sebabnya Pengkhotbah 2 berkata: “Kesia-siaan di atas segala kesia-siaan.” Apa yang bisa kita harapkan dari dunia ini?
Abraham memberikan teladan. Kita sebagai anak-anak Abraham oleh iman harus mencontoh iman Abraham, memiliki spirit Abraham. Ingat, kita dibenarkan bukan karena perbuatan, melainkan karena iman—iman yang diwujudkan dalam tindakan nyata, penurutan total kepada Allah, dan fokus pada dunia yang akan datang. Dengan iman seperti itu, Abraham mengalahkan kematian dengan kematian—dan barulah ia benar-benar hidup.