Skip to content

Mengakhiri Jalan Hidup

 

Kekaisaran Roma melihat kekristenan sebagai komunitas yang membahayakan, karena orang-orang Kristen menyebut Yesus sebagai Kurios (Tuhan)—gelar yang dahulu disandang oleh Alexander the Great. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pemicu pemberontakan, sebab Alexander adalah musuh bebuyutan orang Roma dan bangsa Eropa, yang pernah berkuasa sekitar 300 tahun sebelum Masehi.

Sebelum kekaisaran Roma berjaya, orang-orang Kristen mengalami penindasan hebat: harta dirampas, hak kewarganegaraan dicabut, keluarga ditawan, bahkan dibunuh secara semena-mena. Tuhan melepaskan mereka dari dunia. Yang pertama, mereka dilepaskan dari agama Yahudi. Yang kedua, mereka dilepaskan dari dunia. Mereka tidak dapat menikmati dunia sama sekali. Agama tertutup bagi mereka, dunia pun tertutup. Dalam kondisi itulah mereka ditempa menjadi orang Kristen sejati—walaupun jumlahnya sedikit.

Hari ini, jumlah orang Kristen memang banyak, tetapi mayoritas justru dikondisikan menjadi anak dunia karena dunia terbuka untuk dinikmati. Banyak gereja dan pembicara mulai mengawinkan kekristenan dengan dunia: “Wajar saja hidup seperti orang lain, yang penting masih percaya Yesus, jangan lupa ke gereja.” Tuhan diperlakukan hanya sebagai batu penolong atau sumber berkat jasmani. Tidak sedikit orang datang ke gereja semata-mata mencari kesembuhan atau keuntungan materi. Inilah kekristenan palsu, yang laku karena sesuai dengan selera zaman, tetapi bukan kekristenan yang diajarkan Yesus. Karena itu, kita harus berani berkata: “Kuakhiri jalan hidupku untuk mengikut Yesus Tuhanku. Aku hidup hanya untuk menggenapkan rencana-Mu, Tuhan. Aku percaya, melalui semua perkara Engkau membentuk aku menjadi sempurna.”

Maka kita harus mengubah cara berpikir kita. Ketika kita mengakhiri jalan hidup ini, kita dibentuk oleh Tuhan. Satu hal yang pasti: jangan mengharapkan dunia membahagiakan. Jika kita masih berharap dunia sebagai sumber kebahagiaan, kita akan terbelenggu dan terikat olehnya. Bukan berarti kita tidak boleh bahagia, sebab di dalam Tuhan ada sukacita. Kita juga boleh menikmati berkat jasmani: rumah, mobil, dan sebagainya. Tetapi semua itu tidak boleh menjadi pusat kebahagiaan kita. Kita hanya dapat menikmati Tuhan secara benar ketika tidak lagi menjadikan dunia sebagai primadona kebahagiaan. Roh Kuduslah yang menolong kita.

Melalui segala perkara, Tuhan membentuk kita menjadi sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus. Karena itu, akhiri jalan hidup kita dengan benar. Dahulu kita memahami hidup sebatas sekolah, kuliah, bekerja, berusaha, menikah, membesarkan anak, dan seterusnya. Semua itu bukan tidak boleh, tetapi jangan menjadikannya tujuan hidup. Tujuan hidup kita adalah bagaimana kita mengisi hidup untuk menjadi serupa dengan Yesus Kristus.

Jika kita mau berubah, hari inilah waktunya. Jangan menunda sampai besok. Bila hari ini kita menyediakan diri untuk bertobat, saat itulah kita mulai menapaki jalan hidup yang baru. Perjalanan ini akan menjadi petualangan rohani yang hebat, karena jejak hidup kita akan terukir dalam Kitab Kehidupan Anak Domba. Firman Tuhan berkata: “Berbahagialah orang yang mati, yang mati dalam Tuhan.” Mereka disebut terhormat dan bermartabat, sebab mati secara bermartabat. Orang-orang seperti inilah yang akan dijemput Tuhan dalam kemuliaan. Bukan jumlah orang yang mengantarkan atau panjang iring-iringan mobil yang penting, melainkan siapa yang menjemput kita.

Karena itu, kita harus mempersiapkan diri menjadi orang yang layak dijemput Tuhan. Mari akhiri sisa hidup kita dengan manis. Ikuti jalan Tuhan selagi masih ada kesempatan, sebab jika kesempatan itu berlalu, kita tidak bisa mengulanginya. Memang, banyak di antara kita yang menghadapi masalah berat. Tetapi jangan tenggelam di dalam masalah itu. Jika kita larut, masalah akan menjadi berhala dalam hidup kita. Sebaliknya, biarlah masalah membawa kita semakin memandang kepada Kerajaan Surga.