Skip to content

Menentukan Kekekalan

Dalam setiap masa, Tuhan memiliki rencana dan semua rencana-Nya pasti mengarah pada dibangunnya Kerajaan Surga, di mana Tuhan Yesus menjadi Rajanya. Dalam melaksanakan rencana-Nya tersebut, Tuhan memakai orang-orang yang dapat dipercayai-Nya. Tentu orang-orang yang dipercayai Tuhan adalah orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai alat dalam tangan Tuhan untuk melaksanakan kehendak dan rencana-Nya. Mereka bukan orang sembarangan seperti kebanyakan orang. Siapakah orang yang berkualifikasi demikian ini? Mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki kesediaan untuk meninggalkan kepentingan sendiri dan mempertaruhkan hidup untuk kepentingan Tuhan secara penuh. Dalam Alkitab, kita menemukan tokoh-tokoh yang berani bertindak demikian; seperti Abraham, Daud, Daniel, Maria, Yusuf, Petrus, Paulus, dan lain sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, sudah tidak memikirkan tentang “si aku.” Tentu Pribadi paling mengagumkan yang menggenapi rencana Bapa adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri. Jadi, orang yang dipercayai oleh Tuhan adalah orang yang mana Tuhan berkenan melibatkannya untuk ikut mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya, yaitu menyelamatkan jiwa-jiwa. Kepercayaan Tuhan kepada masing-masing orang berbeda-beda. Tetapi pada intinya, mereka ikut serta dalam penyelamatan jiwa-jiwa.

Kalau orang Kristen hanya diajar untuk percaya kepada Tuhan tetapi tidak diajar bagaimana dipercayai oleh Tuhan, maka ia tidak pernah menjadi orang yang berkenan kepada Tuhan. Ia akan tetap menjadi orang Kristen yang tidak dewasa, alias orang Kristen yang kanak-kanak. Ini adalah orang Kristen yang hanya meminta, meminta, dan meminta, serta tidak menjadi orang Kristen yang memberi atau berkorban bagi Tuhan. Hubungan yang terjalin hanya sebatas hubungan antara peminta dan objek yang dimintai; antara si pemberi dan si penerima. Memang tidak keliru kalau hal ini terjadi dalam kehidupan anak-anak Tuhan yang belum dewasa. Ini adalah konsep agama-agama pada umumnya. Itulah sebabnya, doa sering dimengerti sebagai meminta. “Berdoalah,” artinya “mintalah.” Padahal, berdoa artinya berdialog dengan Tuhan. Jadi, berdoa bukan hanya meminta, tetapi berinteraks; suatu hubungan timbal balik.

Yang menjadi pertanyaan penting hari ini adalah apakah kita sudah berstatus sebagai sahabat bagi Tuhan? Menjadi anak-anak Tuhan yang sudah diajak sepenanggungan dengan Tuhan, memikul beban yang dipikul Tuhan? Itulah salib yang dimaksud oleh Tuhan Yesus (Mat. 10:38). Untuk itu, kita harus belajar dari Paulus, hamba Tuhan yang luar biasa. Dalam hidupnya, ia menjadi orang yang dapat dipercayai oleh Tuhan, sehingga Tuhan memberikan kepercayaan yang besar dalam pelayanan pekerjaan Tuhan. Dalam tulisannya ia berkata, “Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1Kor. 4:1-2). Kalau seseorang tidak menjadi pelayan Tuhan, berarti menjadi pelayan setan. Oleh sebab itu, semua orang yang telah diselamatkan harus melayani Tuhan. 

Dalam sejarah Alkitab, selalu saja dapat kita jumpai orang-orang yang dipilih Tuhan untuk menggenapi rencana-Nya. Orang-orang itu sebenarnya pada mulanya adalah orang-orang biasa. Tetapi melalui proses dalam kehidupan ini, mereka menjadi orang-orang yang luar biasa dan memiliki prestasi yang hebat sebagai orang-orang kepercayaan Tuhan. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melayani Tuhan.

Dalam Injil Matius 26:30-35, kita membaca kisah Petrus yang berani berjanji bahwa ia pasti tidak akan menyangkal Yesus, apa pun yang terjadi. Tetapi kenyataannya, Alkitab mencatat bahwa Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Petrus tidak konsisten dengan janjinya untuk setia. Tetapi pada akhirnya, Petrus menyadarinya dan ia menyesal. Pasti tidak ada seorang pun di antara kita yang berniat untuk berkhianat kepada Tuhan. Pada waktu kita di gereja atau dalam suasana tertentu, emosi kita bisa tergiring pada satu puncak atau keadaan dimana kita memiliki komitmen atau tekad untuk melayani Tuhan, segenap hidup untuk Tuhan. Masalahnya, apakah kita benar-benar konsisten untuk memenuhi komitmen kita? Kalau kita di gereja, kita sungguh-sungguh dalam suatu kondisi ber-Tuhan. Kita menghayati Tuhan itu ada, dan kita menghormati Tuhan dengan memberi nilai tinggi Tuhan dan pernyataan melalui syair lagu yang menyatakan penghormatan kita. Faktanya, kita lupa mempertanyakan, apakah hati Tuhan disenangkan dengan perbuatan kita, atau dikecewakan? Kita lupa bahwa Tuhan adalah Pribadi yang memiliki perasaan. Kita berurusan dengan Allah yang memiliki perasaan. Sejatinya, menyenangkan Tuhan adalah hidup sesuai kehendak Tuhan; hidup suci.

Kita punya kesempatan hidup hanya satu kali, tidak pernah terulang. Dan kalau kita nanti menutup mata sementara kesempatan-kesempatan besar kita tidak raih, maka kita akan menyesal selamanya. Ketika Tuhan memberikan kita momentum-momentum supaya kita konsisten, maka Tuhan dalam kebesaran Pribadi-Nya menerima keberadaan kita, kelemahan, kegagalan kita dalam menyenangkan-Nya, Tuhan beri kita kesempatan. Tapi kalau kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya tidak kita gunakan, kita bisa tidak dapat memiliki kesempatan lagi. Maka, jangan remehkan Tuhan. Sebab, bagaimana sikap kita terhadap Tuhan hari ini, menentukan kekekalan kita.

Bagaimana sikap kita terhadap Tuhan hari ini menentukan kekekalan kita.