Kesucian harus menjadi kebutuhan yang kita rasakan selalu mendesak, tentu juga penting, sampai pada saatnya kita sungguh-sungguh tidak bisa hidup tanpa kesucian menurut standar Tuhan. Bagi kita yang telah mengikut Tuhan Yesus sekian puluh tahun, itu pun melalui pergumulan yang berat, melalui hajaran dan pukulan yang menyakitkan untuk sampai pada perasaan itu, kesucian sebagai kebutuhan yang kita rasa selalu mendesak tentu juga penting. Kita selalu merasa bahwa kesucian yang kita capai belumlah seperti yang Allah kehendaki, walau secara nalar pikiran kita kita sudah tidak menemukan kesalahan atau hampir tidak menemukan kesalahan.
Kadang-kadang kita masih meleset dan kita sadar ada kemelesetan itu dan kita mengakui kesalahan tersebut, lalu minta ampun. Dan kita merasa bahwa kesucian yang kita capai bisa ditingkatkan, bisa lebih memuaskan hati Tuhan, bisa lebih menyenangkan hati-Nya. Tapi kita harus berambisi kuat untuk bisa menerapkan itu di dalam hidup. Bahkan mestinya, tidak ada yang kita anggap penting selain kesucian. Mazmur 73 yang menuliskan, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” tersirat di situ ada unsur kesucian yang kuat. Kita tidak bisa menjadikan Tuhan sebagai bagian hidup kita tanpa kesucian standar Allah dan Allah berintegritas dalam hidup kita.
Kalau Allah menghendaki kekudusan kita seperti kekudusan-Nya, itu berarti kita harus mencapai tingkat kesucian yang bisa diterima oleh Allah, bukan ukuran standar kita, tapi ukuran standar Allah. Memang masing-masing orang berbeda dan ini bisa termasuk misteri kehidupan atas setiap individu. Seperti halnya orang tua yang menerima anak usia 1 tahun masih ngompol, belumlah membuat orang tua marah. Tapi kalau umur 20 tahun masih ngompol, beda. Jadi harus ada standar kesucian yang Allah terima dan ini urusan pribadi, urusan yang tidak bisa dimengerti orang lain dan memang tidak perlu orang lain tahu. Mestinya ini menjadi kebutuhan kita satu-satunya.
Sampai kita bisa merasakan indahnya hidup di dalam kekudusan itu. Setan menipu kita, yang pertama, kesucian tidak bisa kita capai, kekudusan itu mustahil. Kekudusan hanya bisa dicapai waktu di surga di mana tidak ada lagi Iblis. Ini penipuan. Yang kedua, kesucian itu tidak membuat kita bahagia. Kesucian akan membelenggu kita sehingga kita kehilangan kebebasan, kita kehilangan kemerdekaan, sehingga kesucian menjadi ancaman. Ketiga, kesucian itu bukan bagian kita. Setan menipu dengan kalimat, “Orang lain bisa suci kalau kamu tidak.” Yang keempat, kesucian membuat kita tidak akan bisa bersosialisasi dengan sesama; seakan-akan membuat kita akan terasing. Lalu orang bisa menyalahkan kita atau bahkan kita menyalahkan diri kita sendiri. Dalam hal ini, kita lebih menjaga perasaan orang daripada perasaan Tuhan.
Sejatinya, kesucian harus bisa dinikmati dan dirasakan sampai kita bisa seperti orang kecanduan. Di situlah kita bisa memenuhi yang dikatakan di dalam firman Tuhan Matius 5, “Berbahagialah orang yang haus dan lapar akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Di sini maksudnya haus akan kesucian, rindu mencapai kesucian. Kalau kita mau membangkitkan itu di dalam diri kita—walaupun kita belum sampai bisa merasakan kesucian sebagai kenikmatan hidup atau sampai menjadi seperti candu—namun kita bisa dan kalau kita mau mengarahkannya, maka Roh Kudus akan pimpin kita. Kita bukan manusia hebat, tapi kita manusia nekat. Kita berani mengucapkan sumpah untuk hidup suci, walaupun kalau melihat jejak rekam hidup masa lalu, rasanya kita tidak pernah mencapai kesucian.
Tetapi kita tidak membuka ruangan sekecil apa pun untuk berbuat salah. Kita tahu kesalahan bisa kita lakukan dan kita sadar bahwa kita terbatas, kita juga tahu kalau kita tidak kebal terhadap dosa, tetapi kita tidak punya pilihan lain dalam hidup ini kecuali hidup dalam kesucian. Sehingga kita berani berjanji, “Aku mau hidup suci, Tuhan. Aku mau hidup tidak bercacat, tidak bercela, Tuhan.” Dan ketika kita memiliki komitmen itu, kita mengarahkan hati kita kepada kesucian. Kita merasakan campur tangan Tuhan menolong kita. Hidup dalam kesucian standar Allah seperti ruangan gelap, tapi coba beranikan diri masuk ke situ, ternyata ruangan itu tidak gelap. Tuhan bisa menuntun kita kepada kesucian