“Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu,” jika kita kalimatkan dengan kalimat lain yang maksudnya tidak berubah: “Capailah tingkat setinggi-tingginya, berjuanglah untuk sampai puncak.” Bagi bangsa Israel, mereka harus maksimal mencintai Allah dengan instrumen, dengan alat yaitu hukum; berdasarkan hukum. Tetapi kita, mengasihi Tuhan Allah dengan standar pikiran dan perasaan Allah. Allah harus bisa merasa bahwa hati kita dipersembahkan kepada-Nya. Tidak “terdiskon,” tidak terpotong oleh apa pun dan siapa pun.
Untuk itu, secara hukum moral, kita harus benar dulu. Kita harus bergumul untuk itu, dan Roh Kudus pasti menolong. Bagi orang-orang di luar umat pilihan, mereka juga bisa mencapainya, walaupun tidak sempurna. Kalau bagi bangsa Israel, ada gagalnya juga. Namun, ada darah domba yang ditumpahkan untuk solusi kegagalan itu. Yohanes Pembaptis datang untuk mempersiapkan bangsa Israel agar siap menerima taburan kebenaran supaya bisa dibawa kepada standar hidup umat Perjanjian Baru. Supaya bisa “mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan” secara batiniah. Standarnya bukan lagi hukum, melainkan secara hukum moral sudah harus lulus. Kalau secara hukum moral belum lulus, maka tidak bisa.
Maka, Yohanes Pembaptis diutus Bapa untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan. Lihat bagaimana Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan supaya mereka hidup dengan menghasilkan buah pertobatan, artinya mereka melakukan hukum sesuai dengan jiwanya, sehingga menghasilkan buah pertobatan. Bukan hanya melakukan hukum sesuai dengan bunyinya, lalu tidak terbukti berbuat kesalahan. Maka kepada ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, Yohanes Pembaptis berkata, “ular beludak.” Padahal mereka pengajar hukum, tetapi justru menyimpangkannya.
Puncak masing-masing orang tentu berbeda, karena porsi masing-masing orang juga berbeda; “Yang diberi banyak, dituntut banyak; yang diberi sedikit, dituntut sedikit.” Kita harus berusaha sampai puncak, dan hanya Allah yang bisa menilainya. Apakah kita mengasihi Tuhan? Tuhan sudah rasa belum, cinta kita kepada-Nya? Apakah sudah “segenap”? Ini penting, lebih dari apa pun. Sebab ketika kita nanti berjumpa dengan Tuhan, lalu semua rahasia dibuka, pembukuan hidup masing-masing orang, neraca masing-masing orang dibuka, akan terlihat seberapa seseorang telah mempersembahkan hidupnya bagi Tuhan.
Kata “mempersembahkan,” kalau digunakan kata yang lebih tepat sebenarnya “mengembalikan.” Karena ketika kita ditebus, kita bukan milik kita sendiri, tetapi menjadi milik Tuhan. Kebaikan moral tentu harus dicapai dulu. Jadi, kalau ada orang Kristen yang masih tidak jujur dalam keuangan, tidak setia kepada pasangan hidupnya, memiliki kebengisan terhadap orang lain, tega mengupayakan penderitaan orang, ibarat orang mau ikut perlombaan, sudah tidak bisa ikut. Secara moral umum, harus baik dulu. Ini saja perlu pergumulan. Kenapa?
Karena kita masih berdaging dan ini berpotensi melanggar hukum. Emosi dan temperamen kita itu berpotensi melanggar hukum. Kesombongan kita, masih berpotensi melanggar. Supaya punya harga diri, martabat, orang bisa bohong. Supaya punya prestise, dia bisa mencuri. Menjadi benar secara moral umum saja tidak mudah, tetapi nanti akan berproses simultan. Sementara kita berjuang untuk mencapai puncak, kedagingan kita mulai semakin diluruhkan atau digugurkan.
Jadi, mari kita memiliki tekad untuk mencapai puncak setinggi-tingginya. Artinya, kita mau menjadi suci sesuci-sucinya; kehidupan yang tidak bercacat, tidak bercela sebersih-bersihnya. Tidak terikat dengan dunia, sebersih-bersihnya. Hukum-hukum moral umum itu masih membuka peluang untuk menjadi orang duniawi. Hukum moral umum tidak mampu membawa seseorang pada hati Allah di tingkat puncak. Maka, kalau kita melihat tokoh-tokoh Perjanjian Lama banyak cacatnya, tetapi Tuhan mengakui mereka itu sebagai sahabat dan kekasih-kekasih-Nya. Karena Allah tahu mereka tidak akan sanggup mencapai puncak.
Jadi, kalau kita melihat Abraham punya istri lagi bahkan gundik-gundik, jangan kita berkata, “Wah, bapak orang percaya saja punya gundik. Apa salahnya saya juga punya gundik?” Kita menjadikan Abraham bapak orang percaya itu di satu aspek: imannya. Daud adalah seorang yang memiliki hati yang berkenan di hadapan Tuhan. Tetapi, mengapa Daud—yang disebut a man after God’s own heart; seorang yang ada di hati Tuhan sendiri—memiliki begitu banyak istri?
Coba lihat, perilakunya tidak semua sempurna. Tetapi dia disebut “seorang yang ada di hati Tuhan; a man after God’s own heart.” Hal yang kita pelajari dari Daud itu kasihnya kepada Allah. Nanti dari Sadrakh, Mesakh, Abednego, Daniel kita belajar integritas dan kesetiaannya. Tetapi puncak dari kebenaran atau pusat dari kebenaran; episentrum kita itu Tuhan Yesus. Itu standarnya.
Mari kita memiliki tekad untuk mencapai puncak setinggi-tingginya dalam mengasihi Tuhan.