Skip to content

Menanti-nantikan Tuhan

 

Mazmur 42:2-3

“Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup.”

Ada banyak ayat yang berbunyi, “Aku menanti-nantikan Tuhan. Tentu maksud menanti-nantikan Tuhan ini adalah menunggu Tuhan bertindak, menunggu Tuhan hadir. Sebenarnya kalimat,”Menanti-nantikan Tuhan,” ini di dalamnya tersimpul kebutuhan akan Allah yang tidak pernah berhenti, yang terus-menerus berkesinambungan. Biasanya, kebutuhan kita akan Allah itu adalah pertolongan Tuhan dalam menyelesaikan persoalan. Persoalan hidup dapat kita kelompokkan dalam dua bagian. Pertama, persoalan pribadi; bagi yang masih belum dewasa, yang masih hidupnya berpusat pada diri sendiri. Kedua, persoalan pelayanan; bagi yang sudah teosentris, sudah berpusat pada Allah, hidupnya sudah seperti anggur yang tercurah dan roti yang terpecah. Lalu kita menanti-nantikan Tuhan karena kebutuhan jiwa. Setiap hari kita menantikan Tuhan dengan lawatan-Nya, seperti air yang kita teguk.

Kita membutuhkan Tuhan untuk mencapai kesucian. Kita membutuhkan bimbingan, tuntunan Tuhan, untuk meningkatkan kekudusan, kesucian kita, karena tidak ada yang bisa menolong kita hidup suci, kecuali Tuhan. Dan yang terakhir, kita menantikan kedatangan Tuhan yang kedua kali. Jadi kalau sampai orang tidak menantikan Tuhan, betapa rusaknya hidup orang itu. Banyak orang menantikan Tuhan hanya sampai persoalan pribadi. Sejatinya, betapa miskinnya orang Kristen seperti ini. Coba kita memeriksa diri sendiri, apakah kita menantikan-nantikan Tuhan? Untuk apa? Sebab jika seseorang makin dewasa, dia tidak lagi fokus pada diri sendiri, seiring dengan kebutuhan kesucian maka hidupnya berpusat pada Tuhan. Tuhan tidak akan membebani orang itu dengan persoalan-persoalan pribadi, walau persoalan-persoalan pribadi akan selalu ada di dalam hidup kita, dan persoalan-persoalan pribadi itu merupakan katup pengaman bagi kita. 

Kalau kita sama sekali tidak punya persoalan pribadi, maka kita memiliki kecenderungan untuk menjadi ceroboh, karena kita memiliki zona nyaman. Dengan adanya persoalan pribadi, kita bisa merasakan kebutuhan, jalan keluar dari masalah-masalah yang ada, maka kita bisa berempati terhadap persoalan-persoalan sesama. Hal ini masuk di dalam pelayanan, jadi selalu ada persoalan pribadi. Tetapi, kita tidak akan dibebani oleh persoalan-persoalan pribadi yang sampai mengganggu pelayanan. Selalu ada persoalan pribadi, karena persoalan pribadi akan menjadi katup pengaman, menjaga kita tidak lupa diri, tidak nikmat di zona nyaman, supaya kita masih memiliki empati terhadap penderitaan orang lain. Kita masuk di masalah pelayanan, di mana kita memperhatikan orang lain.

Kalau orang sudah masuk di pelayanan, dan Tuhan memercayakan proyek-proyek pekerjaan Tuhan yang besar, maka dia pasti menghadapi persoalan pelayanan. Tuhan tidak membuat pelayanan kita berjalan mudah, bahkan kadang-kadang kita bisa berpikir, seakan-akan Tuhan tidak membantu kita, Tuhan seperti membiarkan kita dalam kesulitan. Di situ Tuhan mengajar kita untuk bertekun, untuk tetap memercayai Dia, untuk memiliki motivasi yang murni dalam pelayanan, dan untuk tidak mencari keuntungan pribadi, sehingga kita bisa melihat kemuliaan Allah dan masuk dalam apa yang disebut penderitaan bagi Tuhan. Karena penderitaan bagi Tuhan itu mendatangkan kemuliaan. Dalam kesulitan yang kita hadapi dalam pelayanan, kita bisa berkata,“ Kenapa saya membuat pelayanan ini? Ini menyusahkan hidup saya. Seandainya waktu itu saya tidak mengambil keputusan, mengadakan, atau membuat pelayanan ini, betapa merdekanya hidup saya, betapa nyamannya.” 

Tetapi, karena kita sudah memilih melakukan suatu pekerjaan Tuhan atau memilih salib, maka kita harus pikul. Tuhan tidak membuat ringan salib itu. Tuhan tidak membuat jalan kita mudah, tapi di saat penderitaan berlangsung, ternyata penderitaan tersebut memberi kita kesempatan untuk memiliki kemuliaan. Roma 8:17 mengatakan, “Kalau kita anak, maka kita juga adalah ahli waris, artinya orang-orang yang menerima janji-janji Allah yang akan menerimanya bersama-sama dengan Yesus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dimuliakan bersama-sama dengan Dia.” Sayangnya, jarang orang masuk di sini. Kalau kita membaca Kisah Para Rasul, kita melihat penderitaan rasul-rasul, di mana mereka mengalami aniaya, dan Tuhan seperti membiarkan penganiayaan itu. Murid-murid ditangkap, Yakobus dipancung kepalanya.

Dalam Kisah Para Rasul 2-3, para murid berdoa, menantikan pertolongan Tuhan, bukan untuk masalah pribadi mereka melainkan masalah pelayanan. Namun, pasti Roh Kudus pimpin. Jadi dalam keadaan setengah putus asa, kecewa, pahit, karena masalah pelayanan yang berat, kita dibawa kepada pengharapan akan kedatangan Tuhan; parousia (Yun.). Kalau kita sudah masuk ke sini, tidak ada yang kita harapkan dari dunia, kecuali kita mau menikmati Tuhan, kita mau hidup suci.