Banyak pendapat yang mengatakan bahwa tidak mungkin selama hidup di bumi seseorang bisa mencapai kesempurnaan. Bukan hanya jemaat awam yang mengucapkan, namun juga pembicara di mimbar. Padahal, Tuhan Yesus jelas berkata, “Karena itu hendaklah kamu sempurna sama seperti Bapa di surga sempurna.” Ketika Tuhan Yesus mengucapkan kalimat ini di Matius 5:48, Yesus sedang menjelaskan hukum yang diberlakukan bagi orang beragama pada umumnya, dan hukum yang dikenakan bagi anak-anak Allah. Tuhan Yesus membuat perbandingan. Jadi, ini konteksnya adalah kehidupan di bumi, bukan kehidupan di tempat lain, apalagi di surga. Di ayat sebelumnya, Yesus berkata, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
Kalau bagi orang dunia, membunuh itu menghabisi nyawa. Tapi bagi orang Kristen, membenci sudah merupakan pembunuhan. Bagi orang dunia, standar hukumnya yang namanya berzina itu melakukan hubungan badan dengan orang yang bukan pasangan hidupnya atau yang belum resmi sebagai suami istri. Tetapi bagi orang percaya, memandang lawan jenis dan mengingininya, sudah dikategorikan berzina. Yang kemudian ditutup dengan, “Kamu harus sempurna sama seperti Bapa di surga sempurna.” Dan kalau kita membaca ayat-ayat sebelumnya, Tuhan membandingkan hukum yang berlaku bagi manusia pada umumnya atau agama-agama pada umumnya dan perilaku atau standar moral bagi anak-anak Allah. Jadi, sempurna yang harus kita capai itu bukan nanti di surga atau di tempat lain, meIainkan sekarang ini, di bumi ini, di tempat kita masing-masing.
Ini harus kita camkan dulu. Kita harus menerima ini. Jangan kita disesatkan oleh pandangan dunia yang sebenarnya itu dari kuasa kegelapan. Tuhan Yesus sendiri yang berkata ini. Sekarang yang kita harus tahu adalah apa sebenarnya pengertian sempurna itu? Kebenaran ini harus kita pahami sehingga mewarnai hidup dan mengubah kita. Karena tidak ada yang lebih penting selain kesempurnaan. Yang kemudian Tuhan Yesus berkata di pasal berikutnya, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Harta di surga adalah kehidupan kita yang berkenan kepada Allah, yang itu menjadi milik kekal kita.
Dalam teks aslinya, kata sempurna ini adalah “teleios.” Teleios atau sempurna itu ternyata memiliki banyak pengertian. Yang pertama, sempurna itu artinya lulus. Jadi, seperti sebuah pergumulan, pergulatan yang membuat seseorang bisa memenangkan pergumulan itu sehingga lulus. Itulah sebabnya kata teleios juga bisa berarti menang. Maka, teringatlah kita dengan apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus di dalam Kitab Wahyu berkali-kali, dan di setiap surat yang ditulis kepada jemaat-jemaat ada kata “menang.” Ada perjuangan yang harus kita lakukan untuk membuat kita mencapai apa yang Allah atau Tuhan kehendaki, yaitu kita menang. Namun tanpa kita sadari, ada insight (pemahaman) yang diajarkan keliru kepada kita. Mungkin dia tidak bermaksud mau menyesatkan, karena dia juga tidak mengerti, seakan-akan Yesus yang membuat kita menang dan kita tidak perlu perjuangan.
Yesus membuat kita menang, tapi berupa pemberian potensi untuk menang. Yesus menang untuk diri-Nya demi supaya kita bisa mencapai kemenangan. Jadi, kita tidak bisa mendompleng kemenangan Tuhan Yesus. Kita harus punya kemenangan sendiri, yang karenanya Yesus berkata, “Menanglah kamu seperti Aku menang.” Dan itu diulang berkali-kali, “Seperti Aku menang, kamu juga harus menang.” Ironis, banyak orang Kristen berpikir bahwa ketika Yesus menderita, mati di kayu salib dan bangkit, itu adalah kemenangan Yesus yang membuat kita otomatis bisa ikut menang bersama Dia. Ini pendapat yang salah. Yesus menyelesaikan pergumulan-Nya, taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib, sehingga Dia menjadi pokok keselamatan (Ibr. 5:7-9). Walaupun Dia adalah Anak, tetapi Dia tidak mendapat kemudahan untuk menang. Yesus menaikkan doa dengan ratap tangis kepada Bapa yang berkuasa menyelamatkan-Nya dari maut; artinya yang berkuasa membangkitkan diri-Nya. Dia bergumul.
Dan memang Alkitab berkata, “Bapa membangkitkan Yesus karena kesalehan-Nya.” Jadi, bukan karena mentang-mentang Dia adalah Anak lalu dibangkitkan, itu tidak fair, itu nepotisme. Tapi karena kesalehan-Nya, maka Dia dibangkitkan. Dikatakan juga bahwa “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, yang bisa membangkitkan-Nya. Dan karena kesalehan-Nya, Ia telah dibangkitkan, didengarkan doa-Nya.” Yesus bangkit bukan karena Allah sekadar membangkitkan tanpa tatanan dan tanpa aturan. Dan karena Dia dibangkitkan, maka Dia menjadi pokok keselamatan.