Skip to content

Mempersoalkan Kekekalan

Satu hal yang sungguh-sungguh menyedihkan dan mengerikan, banyak orang sampai saat ini tidak mampu menghayati kekekalan. Bicara mengenai kekekalan dianggap omong kosong, mungkin juga dianggap sarana menakut-nakuti orang, sehingga orang meremehkan atau melecehkan hal kekekalan itu. Kalau kita sebagai pendeta berbicara mengenai kekekalan, orang bisa berkata, “Ya, dia memang pendeta, pantaslah kalau ngomongnya surga terus.”  Padahal kita bicara mengenai kekekalan, dan surga, bukan karena kita pendeta, tetapi karena kekekalan memang fakta. Fakta yang tidak bisa kita bantah, bahkan semua orang tidak bisa bantah, akan adanya kematian. 

Kematian bukan sesuatu yang bersifat mitos, melainkan itu adalah fakta. Kematian bukan mimpi, bukan ilusi, bukan halusinasi, maka kekekalan juga adalah fakta. Terserah orang mau percaya atau tidak. Sebab banyak orang tidak mau percaya. Betapa mengerikan ketika seseorang menutup mata, ternyata ia harus menghadapi kekekalan, surga kekal atau neraka kekal, kemuliaan kekal atau kehinaan kekal. Betapa mengerikan! Dan orang mulai berkata lagi, “Tetapi itu kan nanti, bukan sekarang, mengapa harus kita bicarakan sekarang?” Betul, tetapi nanti itu, kapan? Sepuluh tahun, lima tahun, tiga tahun, dua tahun, minggu depan, besok atau hari ini? Bisa kapan saja, bukan? Tidak akan bisa terhindar! 

Maka, mari kita menyadari hal kekekalan ini dan jauh-jauh hari mempersiapkannya. Seandainya kita masih hidup lima belas, dua puluh, tiga puluh tahun, empat puluh tahun, lima puluh tahun, enam puluh tahun ke depan, tetap harus dipersiapkan. Mengapa? Selain kita tidak tahu kapan kita meninggal, pengaruh dunia bisa membuat seseorang tidak pernah dapat diperbaiki lagi. Dan ini merupakan keuntungan Iblis yang berhasil menggiring orang menuju kegelapan abadi.

Ini pula yang menjadi kekhawatiran Tuhan, sehingga Ia berkata, “Ketika Aku datang kembali, apakah Kudapati iman di bumi ini?” Tuhan mengkhawatirkan ketekunan orang percaya. Tuhan mau mengingatkan agar kita tidak terkejut ketika nanti kita melihat kekekalan yang dahsyat. Bukankah kita bekerja delapan hingga dua belas jam setiap hari demi masa depan di bumi yang sementara sifatnya? Mengapa untuk mencari Tuhan, untuk mengenal Tuhan, dan untuk bisa bersekutu dengan benar dengan Tuhan yang merupakan harta kekal, kita tidak sungguh-sungguh?

Sejatinya, kita tidak tahu berapa banyak orang akan tetap tekun dengan integritas komitmen yang kuat menjadi pejuang Tuhan, bangsawan surgawi yang menjadi ksatria Tuhan, yang akan bukan saja menyelamatkan dirinya sendiri, namun untuk layak masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Yang juga membawa orang tua, adik, kakak, tante, om, keluarga besar, teman, dan setiap orang yang mereka temui untuk menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga. Apakah kita termasuk dalam hitungan mereka yang setia? Bagaimana dengan kita yang sudah lanjut usia, yang juga mungkin memiliki waktu sudah sangat singkat? Tinggal sesaat waktu yang kita miliki. Ayo, kita berubah. 

Seperti Nuh yang berteriak-teriak mengajak orang masuk bahtera, kita mengajak orang masuk bahtera dan bahtera itu adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri. Bagaimana kita hidup seperti Yesus hidup. Bagaimana kita memiliki kualitas hidup anak-anak Allah seperti kualitas hidup yang dimiliki Tuhan Yesus; bukan hanya menjadi orang baik, bukan saja menjadi orang yang tidak bersalah dinilai dari hukum melainkan juga dalam segala hal bisa menyenangkan, menyukakan hati Allah.

Ayo, kita memilih jalan ini, jalan yang tidak dipilih oleh dunia, jalan yang ditinggalkan oleh manusia pada umumnya. Mereka hanya puas beragama dalam konteks hanya beragama Kristen datang ke gereja, tetapi mereka tidak mau melepaskan diri dari keduniawian, dari percintaan dunia, dari dosa-dosa. Sejatinya, betapa mengerikan keadaan mereka kalau mereka tidak bertobat. Oleh sebab itu, kita mau berubah, kita memilih untuk mengikut Tuhan Yesus. Roh Kudus akan menuntun kita, Bapa di surga akan mendidik kita bagaimana agar kita menjadi anak-anak Allah yang berkenan di hadapan Bapa di surga.