Skip to content

Memperkarakan Perasaan-Nya

 

Satu hal yang menjadi pergumulan hidup orang Kristen yang benar, yang serius berurusan dengan Allah adalah pergumulan untuk tahu apa yang Tuhan rasakan mengenai dirinya. Sebagai seorang staf dari suatu kantor, kita mendapat gaji dari atasan atau majikan. Kalau kita betah bekerja di situ, merasa beruntung atau mendapatkan nafkah hidup, maka kita pasti berusaha untuk mengetahui apa yang dirasakan atasan atau majikan tersebut mengenai diri kita, karena itulah kehidupan atau nafkah kita. Apalagi jika kita adalah pegawai yang kerja kontrak setahun. Tentu kita tidak ingin kontraknya tidak diperpanjang, sebab kalau kontraknya tidak diperpanjang berarti kita tidak punya penghasilan untuk menyambung hidup. 

Maka kita pasti akan berusaha untuk mengetahui apa yang pimpinan rasakan tentang diri kita, apa penilaian pimpinan, dan tentu kita berusaha untuk menyukakan hati sang pimpinan, atau majikan kita. Apa pun bisa dilakukan demi menyenangkan hati sang pimpinan. Pertanyaannya, apakah kita melakukan hal ini di hadapan Tuhan atau dalam urusan kita dengan Tuhan yang adalah kehidupan kita, apa penilaian Tuhan terhadap kita? Apa yang Tuhan rasakan mengenai kita? Senangkah Tuhan? Puaskah Tuhan terhadap keadaan kita, atau sebaliknya? Tuhan adalah Pribadi; seperti majikan atau pimpinan kita, manusia yang punya perasaan. Allah juga memiliki perasaan. 

Kalau kita percaya bahwa Allah itu ada dan hidup, maka seharusnya kita berusaha untuk tahu apa yang Dia rasakan tentang kita. Namun banyak orang kurang percaya atau setengah percaya, mungkin juga meragukan keberadaan Allah. Coba renungkan bagaimana jagat raya yang begitu luas, bisa berputar begitu sempurna. Tidak mungkin bumi ini dan seluruh jagat raya (universe) ini ada tanpa tangan yang menciptakan. Jam tangan yang kita temukan di jalan saja tidak mungkin ada dengan sendirinya, apalagi alam semesta yang lebih kompleks. Pasti ada yang mendesain atau ada yang menciptakan. Ingat juga, metabolisme tubuh kita yang begitu sempurna tidak mungkin terjalin secara otomatis tanpa campur tangan Yang Maha Cerdas. Allah itu ada, Allah itu hidup, Allah menentukan segala sesuatu berdasarkan tatanan-Nya. 

Jadi, mari kita berusaha untuk mengetahui perasaan Tuhan. Apa yang Tuhan rasakan mengenai kita? Apa penilaian Tuhan terhadap diri kita? Tuhan tidak mungkin melukai orang yang mengasihi Dia, yang memuaskan hati-Nya. Kita akan menjadi manusia yang benar-benar beruntung kalau mempersoalkan hal ini, sebab jika kita mempersoalkan hal ini dan memperjuangkannya—apa isi hati Tuhan mengenai diri kita—itu menunjukkan bahwa kita menghormati dan mencintai Dia. Sebenarnya itu adalah sikap hati orang yang sungguh-sungguh menyembah Allah.  Kita tidak bisa menyembah Allah tanpa memperkarakan perasaan-Nya setiap hari. Sebab menyembah bukan hanya sesaat waktu kita berkata, “Aku menyembah Engkau.” Lalu kita merasa bahwa kita telah menyenangkan atau memuaskan Tuhan dengan kalimat itu. Tapi kalau kita setiap hari memperkarakan, “Apa yang Dia rasakan mengenai aku atau terhadap diriku? Jika ada hal-hal yang mendukakan Tuhan, ada sikap yang kurang pantas, aku mesti berubah.”

Dalam masyarakat umum dipercayai adanya ilah, dewa, atau allah yang disembah dengan berbagai tata cara ritualnya, apakah dalam bentuk mempersembahkan binatang, menari, menyanyi, dan lain-lain. Selesai ritual, mereka pulang. Nanti, pada hari, tanggal dan bulan tertentu, mereka datang lagi. Allah kita tidak boleh dan tidak bisa diperlakukan seperti itu. Hari Minggu datang ke gereja, memuji Tuhan, menyembah Tuhan. Setelah itu pulang. Mau makan, berdoa; mau tidur, berdoa, tapi tidak setiap saat mempertimbangkan bahwa Allah itu hadir dalam hidupnya. Padahal Allah bereaksi terhadap setiap sikap, pikiran, perasaan, ucapan, dan tindakan kita. 

Kalau kita sungguh-sungguh mencintai Tuhan, Tuhan tahu Dia dicintai. Orang tua saja kalau dicintai anak merasakan itu. Ketika kita dicintai seseorang, diperhatikan, diberi perhatian khusus, kita merasakan itu dan menikmatinya. Tuhan juga. Ironis, lebih banyak orang yang tidak peduli hal itu, jadi tidak heran kalau dalam situasi tertentu, dalam kondisi kritis atau krisis, baru mereka berteriak, “Tuhan, Tuhan, Engkau di mana?” Mestinya, setiap saat kita ada di dalam kesadaran bahwa kita hidup di hadirat Tuhan dan kita harus menjaga perasaan Tuhan. Dan itu harus kita biasakan sampai menjadi irama hidup permanen.