Skip to content

Memperkarakan Perasaan Allah

 

Pelayanan yang benar harus serius menarik seseorang dari api kekal. Sejatinya, setiap kita mestinya sadar bahwa kita ada di dalam situasi yang sungguh sangat membahayakan. Pada suatu kesempatan, Tuhan Yesus mengingatkan penduduk Yerusalem, “Wahai, seandainya kamu tahu apa yang baik untuk damai sejahteramu! Tetapi sekarang hal ini tersembunyi di matamu.” 40 tahun sebelum Yerusalem dihancurkan Jenderal Titus pada tahun 70, Yesus sudah menubuatkan itu. Yesus pun berkata, “Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau” (Mat. 23:37). 

Kegentaran dan ketakutan akan melanda ketika kita ada di hadapan takhta pengadilan Allah di mana kita mulai menyadari bahwa kita tidak layak bersama-sama dengan Allah yang kudus, di saat itu kita baru akan menyesal. Tetapi Raja itu tegas berkata, “Enyahlah dari hadapan-Ku, kamu yang melakukan kejahatan.” Maksudnya mungkin bukan kejahatan secara moral umum, tetapi kita tidak menghormati Tuhan secara pantas, tidak mempersoalkan apakah sikap hidup kita hari ini patut atau pantas di hadapan Tuhan atau tidak. Kiranya Roh Kudus menjamah kita, dan memberi kita kegentaran akan Allah; kegentaran di saat kita masih memiliki kesempatan untuk bertobat. 

Jangan sampai kita berada pada kegentaran ketika kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk bertobat. Karenanya kita harus berusaha untuk memeriksa diri setiap hari. Memperhadapkan diri setiap hari. Paulus mengingatkan kita dalam Roma 8:12-13 bahwa kita berutang bukan untuk hidup menurut daging, tapi menurut roh. Berutang untuk menanggalkan segala hal yang Tuhan tidak kehendaki. Hukum kita bukan hukum yang tertulis, “yang ini haram, yang ini halal; yang ini boleh, yang ini tidak boleh,” yang bisa di-cover dan diverifikasi dengan kalimat verbal dengan sanksi-sanksinya. Tapi, hukum kita itu Tuhan sendiri. Berkenan di hadapan Tuhan atau tidak? Hukum kita ukurannya adalah pikiran dan perasaan Allah. Itulah sebabnya di dalam 2 Korintus 5:9-10 firman Tuhan mengatakan, “Aku berusaha untuk berkenan di hadapan Allah. Karena setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik atau jahat.” 

Kita harus serius memperkarakan ini. Jangan merasa puas hanya menjadi orang baik yang tidak akan masuk penjara karena tidak terbukti melakukan tindakan pidana atau hukum perdata, tetapi kita harus melihatnya dari perspektif Allah, dari kacamata Allah; apa yang Dia rasakan tentang kita. Tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mempersoalkan hal ini. Jika kita tidak mempersoalkannya, bahaya. Mengerikan keadaan kita. Sebab tanpa kita sadari, kita ada di dalam lingkup kuasa kegelapan yang terus menggiring ke dalam kegelapan abadi, artinya terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya. Hal ini bukan bermaksud menakut-nakuti, menghilangkan atau mengambil damai sejahtera kita. Sejujurnya, sejahtera yang kita miliki itu palsu, ketika kita tidak memperkarakan perasaan Allah terhadap diri kita. 

Damai sejahtera kita benar, kalau kita memperkarakan perasaan Allah; apakah kita menyenangkan hati-Nya atau tidak. Hanya kalau kita menyenangkan hati-Nya, damai sejahtera itu kita miliki. Jika bukan ukuran tersebut, maka kita akan dibuat menjadi bebal, tidak memiliki kepekaan untuk mengerti kehendak Allah. Dan kalau berlarut-larut, selamanya kita tidak akan bisa membaca kehendak Tuhan. Puji Tuhan! Hari ini saatnya. Mungkin tidak akan ada kesempatan kedua. Kita harus berpikir: sekarang atau tidak usah sama sekali. Jangan biasakan menunda dan merasa damai sejahtera dengan penundaan itu, karena itu adalah tipuan kuasa kegelapan. Kita harus serius. Sebab pada akhirnya, ini bukan urusan kita dengan hamba Tuhan atau gereja. Ini urusan kita dengan Tuhan. 

Ini mungkin tinggal satu sisa peringatan. Lalu mengapa kita tidak gentar akan Tuhan? Mengapa kita terbiasa dengan kecerobohan seakan-akan hidup di daerah netral tak bertuan, seakan-akan kita ada dengan sendirinya tanpa ada yang mendesain kehadiran kita? Di sisi lain, mengapa setiap pagi kita mengucap syukur? Supaya kita tahu diri, tahu berterima kasih. Supaya kita sadar ada tangan yang memelihara kita. Supaya kita tahu menghormati Dia yang merajut segala berkat yang kita butuhkan. Supaya kita ingat, jika bukan Tuhan yang memelihara kita, kita tidak seperti hari ini. Sesulit apa pun keadaan kita, sesukar apa pun keadaan kita, ingatlah kita ada dalam kontrol dan monitor Tuhan. Dia sangat baik. 

Kita harus selalu bersyukur. Bukan menghiasi bibir dan memenuhi kalimat doa, melainkan kita menyadari bahwa keberadaan kita ini karena kebaikan tangan Allah yang hidup. Baru kemudian kita berkata, “Dengan apa kubalas kebaikan-Mu?” Jangan lupa diri. Tapi kalaupun kita lupa diri, silakan. Tapi kita akan memikul tanggung jawab, menuai apa yang kita tabur. Semua ada perhitungannya. Maka, jangan menunda. Ketika kita membiasakan diri menunda, maka pada akhirnya kita membatalkan.