Skip to content

Memiliki Allah

 

Hal yang paling prinsip setelah kita menerima keselamatan adalah bahwa anugerah yang sesungguhnya adalah Allah sendiri. Ketika Allah berkata kepada manusia pertama, “Pada hari kamu makan buah ini, kamu mati,” artinya manusia terpisah dari Allah, tidak ada kehidupan. Sehingga semua yang baik yang Allah miliki dan yang Allah sediakan bagi manusia, tidak dimiliki manusia. Manusia ‘dihalau atau dicerai’ oleh Allah karena ketidaktaatan, ketidakpatuhan, pemberontakan.  Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus memberi akses di mana manusia dapat menjumpai Allah dan memiliki Dia. Karena memang manusia didesain begitu rupa untuk tidak bisa hidup tanpa Allah. Ada rongga kosong di dalam jiwa manusia yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun selain oleh Allah. 

Jadi, kalau manusia merasa tidak sungguh-sungguh membutuhkan Tuhan walaupun beragama, atau membutuhkan Tuhan karena untuk menyelesaikan masalah-masalah pemenuhan kebutuhan jasmaninya, berarti dia itu sesat. Kita harus bisa merasakan adanya kehausan di dalam diri kita, yang tidak akan bisa terpuaskan oleh apa pun dan siapa pun, kecuali oleh Tuhan. Tetapi terus terang, sedikit sekali orang yang sampai pada taraf kehausan seperti ini, karena selera jiwanya sudah salah sejak kecil, di mana ia dibesarkan dalam lingkungan dunia yang menawarkan berbagai kesenangan yang membentuk selera permanen bukan pada Tuhan.

Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus memberi jalan untuk kita dapat menemukan Tuhan dan memiliki-Nya. Itulah sebabnya, kalau kita percaya kepada kurban Tuhan Yesus di kayu salib, kita dibenarkan; artinya dianggap benar, walaupun tentu belum benar-benar benar, supaya kita bisa menemukan Allah. Perjalanan hidup Kristen kita bukan hanya menemukan Allah, melainkan juga memiliki Allah. Ini prinsip, ini fundamental sekali. Jadi jangan merasa puas kalau kita bisa datang ke gereja dan merasa sudah bertuhan. Sebab jangan-jangan kebaktian seperti itu sama dengan liturgi atau seremonial yang menipu. Sejatinya, ini membuat kita dibohongi, dibodohi, dan berfantasi.

Sebab kekristenan yang sesungguhnya adalah perjumpaan dengan Allah. Orang yang memiliki pengalaman liturgi, pengalaman seremonial, belum tentu memiliki pengalaman dengan Tuhan. Namun, bukan berarti kebaktian jadi tidak perlu lagi. Jelas perlu, karena di kebaktian kita bersama-sama menyanyi, memuji Tuhan, dan mendengarkan firman. Tetapi hendaknya apa yang mewarnai hidup kita, artinya sektor riil kita dalam hidup sehari-hari harus sesuai dengan pengakuan kita di gereja. Kalau tidak, kita menipu diri sendiri, dan menipu Tuhan. Misalnya, kalau kita bernyanyi, “Bapa, aku cinta pada-Mu,” apakah kita sudah mencintai Dia dengan benar?

Ketika bumi ini berlalu, nyawa kita putus, waktu kita habis, tidak ada selembar benang pun yang kita bawa, tak ada sekeping uang yang kita genggam, tidak ada pangkat, derajat, gelar yang kita sandang, kita hanya membutuhkan Tuhan yang menerima kita di Rumah Abadi. Maka kalau menjadi anak kesukaan Bapa, itu lebih dari cukup. 

Dalam Yohanes 2:19 tertulis, “Jawab Yesus kepada mereka: ‘Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali.’” Maksud Tuhan Yesus, bait Allah itu adalah tubuh-Nya. Itulah sebabnya di Galatia 2:19-20, firman Tuhan mengatakan bahwa kita harus memiliki kehidupan di mana Kristus yang hidup di dalam diri kita; “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Jadi, ada target yang harus kita capai dalam 70, 80, 90 tahun umur hidup kita, yaitu bagaimana kita mengalami kepenuhan Allah. Jawabnya adalah jika pikiran dan perasaan-Nya bisa kita kenakan, sebab hanya dengan cara ini kita menjadi anak-anak Allah. Jadi, memiliki Allah berarti memiliki pikiran dan perasaan-Nya. 

Dan ini adalah proses panjang; sepanjang umur hidup kita. Bukan dari tahun ke tahun, tapi dari menit ke menit, dan hidup kita memang harus disita untuk itu; di tengah-tengah pergumulan hidup, mencari nafkah, bertanggung jawab atas keluarga, sebagai bagian dari anak bangsa ini, dan di seluruh kesibukan. Kita memang harus sibuk, karena dalam kesibukan itu Tuhan mendidik dan melatih kita untuk bagaimana kita mengenakan pikiran dan perasaan-Nya. Kita tidak bisa mengenakan pikiran perasaan Tuhan hanya tinggal di dalam biara atau di tengah hutan yang tidak ada manusia. Kita harus bersentuhan dengan manusia, berinteraksi dengan manusia di mana kita harus mengambil keputusan, harus bertindak, harus memilih. Dan di dalam pergumulan itu, Allah mengajarkan cara berpikir-Nya. 

Itulah sebabnya, tujuan hidup kita cuma satu, Tuhan. Banyak orang tidak ada perjuangan untuk itu, karena memang tujuan hidupnya bukan Tuhan. Maka kita harus mengalami perjumpaan dengan Tuhan secara mendalam; perjumpaan yang menggores hidup kita, dan goresan itu mengubah karakter kita, mengubah kualitas hidup kita. Itu yang penting. Jadi sekalipun kita ke gereja seminggu tiga kali, tapi kalau dari menit ke menit kita tidak memperhatikan cara Allah mengajarkan cara berpikir-Nya, percuma. Sebab kita akan tetap serupa dengan dunia ini.