Biasanya, didasarkan pada anggapan dasar atau premis bahwa karena kita telah percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, maka kita otomatis menjadi anak-anak Allah. Itu benar, tapi belum lengkap. Percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat itu sendiri juga harus dimengerti, dipahami dengan benar; percaya yang bagaimana? Menerima Yesus yang bagaimana, sehingga kita bisa berstatus anak-anak Allah? Sebab pada akhirnya, yang diakui oleh Allah Bapa sebagai anak-anak-Nya adalah orang-orang yang benar-benar berkeberadaan sebagai anak-anak Allah.
Dan untuk itu, tidak mungkin Tuhan tidak memberitahu keadaan kita yang sebenarnya menurut Dia. Kalau kita sungguh-sungguh memperkarakan atau mempersoalkannya, pasti Tuhan memberitahu. Pernahkah kita mempertanyakan apakah percaya kita kepada Tuhan itu sudah benar? Apakah benar-benar telah diakui sebagai penerimaan yang memang Allah kehendaki? Kita harus benar-benar mempersoalkan hal ini dengan serius. Kalau kata ‘percaya’ itu sendiri dibedah dari etimologinya, berasal dari kata “pisteuō,” artinya menyerahkan diri kepada objek yang dipercayai.
Berapa persen kita menyerahkan diri kepada objek yang kita percayai? Dalam hal ini, berapa persen kita memercayakan diri kita kepada Tuhan? Pasti Tuhan menghendaki, tidak 50%, tidak cukup 80%, bahkan 90% pun tidak cukup, sebab standarnya itu segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan segenap kekuatan. Jadi, di dalam kata percaya memuat kesediaan memercayakan diri kita kepada Tuhan. Kalau kita percaya Tuhan Yesus berarti kita memercayakan diri kita kepada-Nya untuk apa yang Dia kehendaki dalam proses keselamatan itu. Apakah kita benar-benar ada di dalam proses dinamika keselamatan yang Tuhan sediakan itu? Artinya, kita mencapai maksud keselamatan diberikan yang dibahasakan oleh Paulus dalam Filipi 2:12, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.”
Kalau sampai dengan takut dan gentar, itu artinya bukan hal yang mudah, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, “Berjuanglah masuk jalan sempit, karena banyak orang berusaha tapi tidak masuk.” Sejujurnya, kalau kita melihat geliat hidup banyak orang Kristen, itu bukan geliat orang hidup yang mengerjakan keselamatan. Mungkin bisa dikatakan, jauh dari geliat atau perjuangan hidup proses memasuki proses keselamatan. Pada umumnya, orang Kristen hidup dalam kewajaran anak dunia. Padahal, menjadi umat pilihan itu istimewa. Tidak semua orang menjadi umat pilihan. Umat pilihan adalah orang yang dirancang Allah.
Bahkan di dalam Alkitab dikatakan, sebelum dunia dijadikan, Dia sudah memilih kita. Artinya, ada orang-orang yang memang dipilih dengan standar harus menjadi kudus di hadapan Allah, di dalam kasih-Nya. Kita ditentukan untuk diadopsi sebagai anak-anak-Nya melalui Tuhan Yesus Kristus, sesuai dengan keinginan atau kehendak baik-Nya. Kalau sudah jadi umat pilihan, artinya kita masuk dalam “arena perlombaan” (Ibr. 12:2). Jadi, kalau kita berkata, “Aku percaya kepada-Mu, Tuhan Yesus. Aku menyerahkan diriku kepada-Mu.” Tuhan Yesus pasti berkata, “Ikutlah Aku.”
Jadi kalau kita belum serupa dengan Yesus, berarti kita belum menjadi anak-anak Allah. Tentu kita tidak akan bisa menyamai kekudusan Tuhan Yesus, tetapi harus mencapai level di mana segala sesuatu yang kita lakukan itu selalu sesuai, selalu sinkron dengan kehendak Bapa. Di Roma 7, Paulus berkata, “Celaka aku! Dengan tubuh maut ini, celaka aku!” Kenapa? Sebab, kalau dia masih hidup dalam tubuh maut, dia tidak bisa jadi anak-anak Allah. Lalu, di Roma 8, Paulus berkata, “Orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah.” Mari kita bertanya, yang memimpin hidup kita itu daging kita atau Roh Allah? Kita sudah sinkron belum dengan Roh Allah? Itu masalahnya.
Kita harus bertumbuh terus sampai satu level, Allah berkata, “Ini anak-Ku yang Kukasihi, kepadanya Aku berkenan.” Jadi, kita tidak boleh sampai pada level “dibenarkan” saja, tapi harus terus bertumbuh sampai benar-benar menjadi benar. Keselamatan dalam Yesus Kristus itu luar biasa, merupakan proses yang terus berlangsung dalam hidup kita. Di dalam kehidupan, Tuhan mau meluruhkan atau merontokkan unsur-unsur dosa di dalam diri kita melalui pengalaman hidup. Dan di setiap masa ada cara Allah dalam membentuk umat-Nya. Hari ini tidak dengan cara aniaya, sehingga Tuhan menggarap kita lewat peristiwa-peristiwa hidup untuk merontokkan unsur-unsur dosa dan kedagingan di dalam diri kita; bagi yang mau dibentuk, bagi yang mau diproses.
Karena tidak semua orang mau diproses, dan tidak semua orang benar-benar menjalani proses itu. Ada yang karena tidak tahu, maka kalau ada masalah yang dia lihat hanya masalah itu. Lalu, bagaimana mendapat jalan keluar dari masalah tersebut. Dia tidak mengerti bahwa Allah sedang menggarap hidupnya. Jadi, kita harus punya kepastian hari ini; apakah kita sudah berkenan atau belum. Dan kepastian itu dapat kita lihat dari unsur-unsur dosa yang masih melekat di dalam diri kita. Kita harus terus memperhadapkan diri kepada Tuhan dan mempertanyakan, “Sampai di mana perjalananku ini?”