Pernahkah kita merindukan untuk bisa benar-benar memberi yang terbaik, terindah dan termulia bagi Allah? Kalau kita melakukannya, tidak akan sia-sia, benar-benar kita beruntung. Bagaimana bisa mewujudkan hati kita yang terarah kepada Bapa, Khalik langit dan bumi, satu-satunya Pencipta langit dan bumi ini? Hidup kita harus benar-benar rela dimiliki Tuhan sepenuhnya. Hidup kita harus rela untuk direnggut, diambil, dirampas oleh Tuhan. Dan kita juga harus rela untuk memberikan hidup kita sepenuhnya dimiliki oleh Allah. Kalau kita masih belum segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan kekuatan dalam mengasihi Allah, berarti kita masih hidup dalam remang-remang. Padahal hidup kita harus terang benderang.
Untuk itu, mau tidak mau, kita belajar dari menit ke menit menjaga sikap hati. Curigai, kalau-kalau ada yang tidak patut kita pikirkan, kita renungkan dan kalau-kalau ada ucapan dan perbuatan kita yang tidak patut sebagai anak-anak Allah. Selalu kita mencurigai kalau-kalau masih ada dosa yang kita lakukan, dari menit ke menit. Memang, tentu ada melesetnya, tapi kita harus belajar dari kemelesetan yang satu ke kemelesetan yang lain, dari ketidaktepatan yang satu ke ketidaktepatan yang lain; seperti seseorang yang belajar memanah, ia belajar untuk dapat membidik dengan tepat.
Kalau kita tidak berusaha membidik dengan tepat, kita tidak pernah tahu bagaimana melakukan perubahan. Jadi, kalau orang hidupnya sembarangan, sembrono, ia akan meleset terus, dan celakanya, ia tidak tahu kalau dia meleset. Tapi kalau kita selalu belajar untuk membidik dengan tepat—artinya apa yang kita lakukan itu tepat seperti yang Allah Bapa inginkan—maka kalau kita meleset, kita berusaha untuk tidak meleset lagi. Di situ Tuhan ajar kita untuk memiliki ketepatan dari menit ke menit, jam ke jam. Kita bukan orang yang sudah sempurna, tapi kita harus tahu kapan kita meleset. Kita bisa menilai karena kita punya roh menimbang yang makin peka, makin tajam, makin teliti. Di situlah kita belajar untuk hidup dimiliki oleh Tuhan sepenuhnya.
Luar biasa berat untuk belajar dimiliki oleh Allah sepenuhnya. Bagi yang sungguh-sungguh mau itu pun tidak mudah, apalagi kalau orang memang tidak berniat, tidak akan bisa. Sementara kita belajar mempertimbangkan segala hal yang kita lakukan sesuai kehendak Allah atau tidak, di situ keyakinan kita kepada Allah yang hidup akan bertambah. Orang juga bisa percaya Allah itu ada, tapi seberapa orang benar-benar meyakini keberadaan Allah dan menghayati keberadaan Allah tersebut? Tidak banyak. Kalau seseorang mampu menghayati keberadaan Allah, maka dia tidak bisa takut dalam menjalani hidup. Ini misteri kehidupan yang tidak bisa dialami kalau seseorang tidak masuk ke dalam pengalaman ini.
Hidup kita yang terang membuat kita berani menghadapi segala keadaan, bahkan hal-hal yang berat. Kita bersyukur karena kita memiliki Alkitab, kita dapat melihat kesetiaan Allah kepada umat pilihan-Nya. Bayangkan Musa, ia belum pernah memiliki pengalaman laut terbelah, belum ada pengalaman bisa menghadapi secara fisik algojo Firaun yang mengejarnya, betapa itu mengerikan. Bayangkan juga posisi Sadrakh, Mesakh, Abednego yang diperhadapkan dengan dapur api yang dipanaskan tujuh kali lipat. Tentu sangat menakutkan. Perhatikan bagaimana Sadrakh, Mesakh, Abednego begitu percaya sehingga bisa berkata, “Sekalipun Allah yang kami sembah tidak menolong, tapi kami tetap percaya dan tidak akan menyembah patung yang tuanku dirikan di Lembah Dura.”
Dari kisah-kisah tersebut, kita tahu Allah setia. Jadi mengapa kita masih bisa tidak percaya? Sejatinya, kita merendahkan Allah dengan ketidakpercayaan kita itu. Mungkin dalam masalah-masalah besar yang kita hadapi, sampai saat ini Tuhan tidak memberi jalan keluar dengan mudah. Kita hanya menyimpannya, tidak seorang pun tahu. Namun, kita tetap percaya kepada Elohim Yahweh, Allah yang disembah Abraham, Ishak dan Yakub. Sebab tidak ada orang yang bisa melarang dan menghalangi kita untuk percaya kepada Allah. Kalaupun kita jatuh hancur, kita jatuh di tangan-Nya.
Yang penting, kita jangan berbuat dosa. Yang penting, jangan ada agenda pribadi. Kita harus punya kehidupan yang kita persembahkan sepenuhnya kepada Allah. Dari menit ke menit, kita belajar untuk menyenangkan Dia lebih dari segalanya, dalam segala perkara. Menyenangkan Tuhan merupakan sebuah kehormatan yang luar biasa. Jadi, hati-hatilah bersikap dengan siapa pun. Kalaupun itu orang lemah, jangan sewenang-wenang kepada mereka. Mendengar nama Yesus, orang bisa gemetar. Namun mendengar nama seseorang yang menghidupkan firman dalam dirinya yang memancarkan kekuatan, itu pun luar biasa.
Kita harus jadi manusia-manusia yang menggetarkan, menjadi kebanggaan Kerajaan Surga, tapi menakutkan kuasa kegelapan. Untuk itu kita mesti melekat kepada Tuhan, sebab hanya Tuhan yang bisa menolong kita. Setan membidik kita. Tapi kalau kita melekat, hidup kita selesai di hadirat Tuhan, setan tidak bisa mengganggu kita. Jangan melawan setan tanpa Tuhan.