Dunia hari ini penuh dengan kepalsuan. Kita sebagai orang yang mengaku ber-Tuhankan Yesus Kristus, kiranya dihindarkan dari sikap kepalsuan. Martabat orang percaya adalah melakukan kehendak Bapa atau menjadi seorang yang memiliki pengakuan dari Allah Bapa sebagai anak kesukaan Bapa dan berkenan kepada-Nya. Acara pemakaman sehebat apa pun tidak membekali yang meninggal pulang ke rumah kekal; entah ke surga atau ke neraka. Makam hanyalah tempat jasad yang dimakan tanah dan cacing. Seseorang dapat memiliki pemakaman yang baik, bahkan pemakaman keluarga yang terkumpul pada satu lokasi. Hal ini tidaklah keliru, tetapi harus disadari bahwa itu tidak memiliki nilai dalam kekekalan. Sebab, tempat yang dibutuhkan adalah rumah kekal, atau untuk roh dan jiwa; rumah yang kekal yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, membekali orang menghadapi kematian harus dimulai dari diri sendiri. Setelah itu, barulah kemudian kita menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk membekali orang lain, misalnya untuk orangtua. Dimana kita harus memancarkan kehidupan rohani yang baik untuk orangtua yang sudah mendekati hari kematian. Kita mempersiapkan orangtua kita memiliki kematian yang bermartabat.
Apa bekalnya? Bekalnya adalah berkenan kepada Allah. Kalau kita menjadi manusia yang makin hari makin berkenan, kita pasti menulari orang lain; menulari bagaimana hidup berkenan kepada Allah. Kita harus mengajak orangtua untuk berkemas-kemas pulang ke LB3 (langit baru bumi baru). Dalam percakapan dengan orangtua, kita harus mulai mengarahkan orangtua pada perkara-perkara yang di atas. Bekali orangtua kita dengan hal-hal rohani. Jangan setelah meninggal, baru membuat upacara semegah-megahnya. Itu bukan bekal untuk orangtua masuk dalam kehidupan abadi. Harus diingat bahwa kematian bisa menjumpai siapa pun, tidak tergantung usia. Demikian juga persiapan kita untuk anak-anak, dimana kita juga harus memikirkan hal-hal yang menyangkut kekekalan. Banyak orangtua takut berbicara mengenai surga dan kematian kepada anak-anak. Hendaknya, kita tidak merasa tidak terlalu dini untuk mengajarkan hal surga dan neraka serta kematian kepada anak-anak. Tentu kita harus berbicara dalam bahasa anak-anak, dalam kapasitas yang bisa diterima oleh anak-anak. Kematian bisa menjumpai siapa saja. Sejak dini, orangtua harus mengajarkan kebenaran, dan bisa benar-benar menampilkan teladan hidup orang yang menghidupi kebenaran. Ini adalah warisan yang terbaik yang tidak pernah binasa, yang dapat diberikan orangtua. Dengan demikian, anak-anak dibekali dengan bekal yang baik untuk pulang ke surga. Dan kalau orangtua memiliki kerinduan yang kuat terhadap langit baru bumi baru, pasti tertular ke anak.
Kematian orang yang bermartabat adalah orang yang berjerih lelah selama hidup di dunia. Tadi sudah kita baca, “Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” Dalam bahas aslinya, kata “jerih lelah” (Yun. kopos, κόπος) artinya menangis atau meratap dengan memukul dada; (Ing. grief with beating the breast, lamentation, wailing). Bukan hanya berduka, tapi orang yang menderita; orang yang menderita bersama-sama dengan Tuhan. Pada waktu itu, penganiayaan sangat hebat. Harga mengikut Tuhan Yesus adalah segenap hidup mereka. Mereka mempertaruhkan nyawa. Bagaimana dengan kita yang hidup di zaman ini? Kita mempertaruhkan kesenangan. Sampai kita bisa mengatakan, “Bahagiaku hanya diri-Mu.” Beranikah kita membayar harganya? Orang-seperti inilah yang baru berani betul-betul kehilangan segala sesuatu. Orang yang kebahagiaannya hanya Tuhan, rela berbuat apa pun. Kematian menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu, Tuhan pun menantikan. Indah sekali. Ia tidak takut mati. Mati itu bahagia, karena ketemu dengan yang menjadi kebahagiaannya. Inilah kematian orang yang bermartabat.
Jadi kalau kita membaca kitab Wahyu 14, ditunjukkan gambaran orang-orang yang bersama dengan Yesus dalam perjuangan sampai akhir, setia sampai akhir. Makanya kalau kita membaca 2 Timotius 4:6, Paulus mengatakan: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat.” Tidak ada kesenangan lain kecuali ia bisa mencurahkan darahnya untuk Tuhan. Kita tentu ingin memiliki kematian yang bermartabat. Mari kita berjuang untuk hidup berpadanan dengan Injil. Jadi, kalau orang benar-benar menerima Injil, hidupnya akan diubah Tuhan sedemikian rupa, dan standar hidupnya itu Yesus sendiri. Kita tidak bisa lakukan ini kalau kita masih punya kesenangan. Maka, kita harus melepaskan segala kesenangan yang masih tersisa. Dan komitmen ini harus kita perbaharui dari waktu ke waktu. Kita tahu tidak mampu dengan kekuatan sendiri, tapi Tuhan pasti akan tolong. Dari pihak kita, kita harus berani berjanji dan bertekad. Jangan sampai kita sudah terlanjur berumur, sehingga sulit untuk diubah. Sebab, yang penting bukan panjangnya, tapi dalamnya, agar kematian kita jadi bermartabat.
Membekali orang menghadapi kematian harus dimulai dari diri sendiri; dan bekalnya adalah berkenan kepada Allah.