Saudaraku,
Allah yang kita sembah itu hidup, maka harus dialami, bukan hanya dipelajari di atas kertas. Maka, jangan puas dengan level yang kita miliki. Kita mau duduk diam, dengan rendah hati di hadapan Tuhan, kita berkata, “Aku mau mengenal Engkau, Tuhan, bukan dari siapapun, namun dari Engkau sendiri. Engkau bukan sekumpulan doktrin semata, dan pengetahuan, namun Engkau pribadi yang harus menyentuh dan kusentuh, menyentuhku dan aku menyentuh-Mu.” Pernahkah kita berpikir bahwa Abraham tidak pernah belajar teologi? Yusuf tidak pernah membaca buku-buku risalah keagamaan? Dia hanya mengenal Allah lewat pergaulan, lalu bagaimana dia bisa menafsirkan mimpi? Dia belajar dari siapa? Dia belajar dari Tuhan langsung.
Tidak bermaksud mengecilkan teologi, tapi kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan bahwa setiap individu harus bersentuhan dengan Allah dan membangun subjektivitas yang mendekati objektivitas. Artinya, kita betul-betul bertemu Tuhan, bukan fantasi, supaya pengalaman kita yang subjektif itu menjadi objektif di mata Allah, karena kita benar-benar menyentuh Dia. Jangan puas dengan apa yang kita sudah capai. Kita harus terus mencari Tuhan, ada wilayah yang tidak terbatas yang harus kita arungi. Bagaimana mungkin kita sibuk melihat gadget, film, jalan-jalan, tapi kita tidak sibuk dalam menggali kebenaran, tidak mencari wajah Tuhan? Kita miskin. Seperti kisah dalam Lukas 12, orang kaya yang mati dalam kemiskinan. Yang sudah mencari Tuhan saja tidak boleh berhenti, apalagi bagi mereka yang tidak sungguh-sungguh mencari Tuhan. Dunia kita harus satu, Tuhan.
Mari bersama kita berani berkata, “Aku bersumpah untuk hidup suci, aku berjanji untuk hidup tak bercacat, tak bercela. Aku berjanji tidak punya keinginan kecuali Tuhan.” Kita harus berani. Tidak ada jalan lain, tidak ada pilihan lain, karena tidak ada kehidupan di luar Tuhan. Kita harus nekat. Hanya orang nekat yang bisa menemui Tuhan. Sebab kalau berurusan dengan Tuhan, harus dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, segenap kekuatan. Kurang dari itu, kita tidak diterima, karena dipandang tidak menghormati Tuhan.
Kita bisa gagal, kalau kita punya banyak fokus. Maka fokus kita harus Tuhan; Tuhan saja. Kita mencari Tuhan di tengah-tengah kegelapan hidup dan jalan yang pernah kita lalui. Kita harus berani masuk wilayah-wilayah baru. Kita minta Tuhan jagai kita, agar kita tidak jadi sombong, tetap rendah hati dalam kekudusan dan kesucian. Saya khawatir ada di antara Saudara sudah tidak bertumbuh lagi. Tuhan tidak boleh hanya menjadi sebuah Impian atau fantasi. Tuhan harus menjadi riil dan nyata dalam hidup kita. Ironis, banyak teolog memandang orang-orang yang mencari Tuhan itu berfantasi, emosi, ngeroh, sementara mereka sendiri tidak mengalami Tuhan.
Tuhan yang disembah Abraham, Isak, dan Yakub, Allahnya Abraham, Isak dan Yakub, Allahnya Musa, Allahnya Sadrakh, Mesakh, Abednego, Allahnya Daniel kita hidupkan di zaman kita. Bukan omong kosong. Kita harus punya gelombang setinggi-tingginya dengan fluktuasi dinamika hidup sekeras-kerasnya, supaya kita bisa membuktikan bahwa Allah kita hidup. Maka Tuhan akan membawa kita ke “Pantai Laut Kolsom” di mana ada Firaun mengejar di belakang, sementara di kanan kiri ada bukit, dan di depan ada laut terbentang. Kita mau mengalami itu, dan kita mau buktikan bahwa Allah kita hidup. Dan itu yang memaksa kita hidup suci. Karena tanpa kesucian, kita tidak bisa berjalan dengan Dia. Itu yang memaksa kita mematikan semua keinginan, supaya kita hanya memiliki keinginan tertuju kepada Tuhan.
Karena ketika waktu kita lewat, kita berteriak pun tidak akan didengar oleh Allah, kita ulurkan tangan pun Dia tidak akan mengulurkan tangan-Nya. Tapi selagi kita punya kesempatan, mari kita berseru, Dia akan mendengar. Ketika kita mengangkat tangan, Dia akan mengulurkan tangan menyambut kita. Kita tidak bercanda dengan kekristenan, gereja, apalagi dengan Tuhan; kita serius dengan Tuhan. Jangan puas dengan kehidupan rohani yang telah kita miliki, karena kita mau mencapai lebih tinggi.