Dalam perjalanan hidup kita sebagai anak-anak Allah, sebagai umat pilihan yang dikasihi oleh Bapa, pasti ada momentum-momentum penting yang Tuhan izinkan kita alami atau kita jalani, yang melaluinya Tuhan mau mengarahkan kita kepada-Nya atau mengarahkan kita kepada rencana-Nya yang agung, besar, dan mulia. Maka, kita harus dapat menangkap dan menggunakan momentum itu dengan benar. Yusuf, anak Yakub, mengalami puncak penderitaan bukan hanya pada waktu ia dibuang ke dalam sumur, atau pada waktu dia dijual menjadi budak, melainkan ketika dia masuk ke dalam penjara dengan tuduhan hendak memperkosa istri tuan Potifar yang adalah pejabat Firaun. Pada saat itu, langit hidup Yusuf menjadi rubuh. Masa depan hidup anak Yakub ini seolah gelap gulita.
Tetapi ternyata, itu momentum penting; momentum yang Tuhan izinkan dialami Yusuf untuk mengangkatnya, yang kemudian menjadi awal dari keselamatan seluruh keluarga Yakub, dan perjumpaan Yakub dengan anak kesayangannya ini. Allah memiliki banyak jalan, dan jalan-jalan-Nya sering tidak kita pahami. Tetapi, Allah tidak pernah mendatangkan kecelakaan kepada kita, sebab rancangan-rancangan-Nya adalah rancangan damai sejahtera, demikian dalam kitab Yeremia ditulis.
Daud, mengalami puncak penderitaan bukan hanya pada waktu dia menghadapi Goliat, tetapi ketika nyawanya seperti telur di ujung tanduk sebab dia dikejar, diburu nyawanya oleh Saul. Dia dilawan oleh bangsanya sendiri. Semua pasukan Saul memburu nyawanya. Seorang anak gembala menghadapi raja dengan ratusan tentara atau prajurit. Tetapi, ternyata itu momentum bagi Daud sebagai latihan untuk suatu saat dia menjadi Raja Israel. Demikian pula dengan gua singa Daniel dan dapur perapian yang dinyalakan (dipanaskan) 7 kali lipat bagi Sadrakh, Mesakh, Abednego; itulah momentum-momentum yang mengubah hidup mereka.
Setiap kita pasti memiliki momentum dalam menjalani hidup. Kalau kita bisa membaca jejak Tuhan di dalam hidup kita, pasti; momentum yang Tuhan izinkan kita alami atau kita jalani, yang mengarahkan kita kepada Tuhan, kepada kemakmuran Tuhan; bukan kemakmuran duniawi. Momentum yang mengarahkan kita kepada penggenapan rencana-rencana Allah yang indah bagi kemuliaan nama-Nya dan bagi keindahan hidup kita. Coba kita renungkan peristiwa-peristiwa hidup yang pernah kita alami, yang sebenarnya itu merupakan panggilan Tuhan untuk mengarahkan kita kepada rencana agung-Nya. Kalau kita telah menyia-nyiakan momentum itu, mari kita berbalik. Masih ada kesempatan selama kita masih memiliki kehidupan ini; selama jantung kita masih berdetak.
Banyak orang yang menyia-nyiakan momentum berharga yang merupakan berkat kekal yang Allah berikan itu. Sehingga, hidupnya tidak mengalami perubahan secara signifikan; tidak mengalami perubahan yang berarti. Rencana-rencana agung Allah yang didesain-Nya, tidak tergenapi dalam hidup kita. Mari kita periksa hidup kita dengan lebih teliti. Sebab kalau kita menyia-nyiakan momentum yang berharga itu dan kita tidak memperoleh apa-apa—bahkan tidak jarang yang malah menjadi lebih menjauh dari Tuhan—momentum itu tidak terulang lagi. Ingat, momentum itu mahal, itu kasih karunia, itu berkat abadi yang Allah sediakan. Jangan kita sia-siakan.
Malah tidak jarang kekecewaan yang kita alami itulah yang membuat kita bertanya-tanya, kekristenan yang benar itu bagaimana? Guncangan-guncangan hidup itu membuat kita meragukan kekristenan yang kita jalani, yang kita warisi dari pendahulu-pendahulu dengan semua doktrin dan pengajaran yang sudah kita serap memenuhi pikiran. Maka, ketika kita mulai memasuki ruang sepi, ruang doa, melewati malam panjang duduk diam di kaki Tuhan, juga dalam kekecewaan yang kita alami. Sejatinya, itulah momentum penting yang membuat hidup kita mulai berubah.
Ternyata, kekristenan yang kita jalani belum kekristenan standar yang diajarkan Tuhan Yesus. Hidup kita terkoneksi dengan tokoh-tokoh teologi yang kita pelajari, tetapi tidak terkoneksi dengan Tuhan. Emosi kita terkoneksi dengan seremonial gereja kharismatik yang memeras perasaan, membangkitkan emosi, spontan. Kadang-kadang, kita merasa begitu diurapi. Tetapi kalau jujur, sering kali itu hanya sebuah luapan dari emosi yang dibalut dengan pengertian seakan-akan kita berjumpa dengan Tuhan. Sebab, orang yang terkoneksi dengan Tuhan pasti memiliki kegentaran yang dahsyat dan ia tidak bisa hidup dalam dosa. Kesucian Allah akan mengejar dan “menghanguskan” dirinya. Allah itu bisa dirasakan dan dialami, jika kita serius membangun hubungan interaksi dengan Dia.
Setiap kita memiliki momentum kalau kita bisa
membaca jejak Tuhan di dalam hidup kita.