Hampir semua kita telah mendengar kisah Zakheus. Ia naik ke pohon ara, kemudian Tuhan Yesus memanggilnya untuk turun. Tuhan mengatakan bahwa Ia akan menumpang; akan tinggal di rumah Zakheus atau bertamu di rumah Zakheus. Kata “menumpang” bisa berarti menginap. Jadi, bukan hanya bertamu satu, dua jam saja. Lukas 19:8-9 tertulis, “Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: ‘Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat. Kata Yesus kepadanya: ‘Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham.”
Kita pernah membaca di dalam Alkitab atau mendengar khotbah tentang orang-orang Yahudi mengaku sebagai anak Abraham. Tetapi Yesus berkata, “Kalau kamu anak Abraham, kamu akan melakukan apa yang Abraham lakukan. Tetapi kamu tidak melakukan apa yang Abraham lakukan. Jadi, kamu bukan anak Abraham.” Abraham disebut “bapak orang percaya,” artinya orang-orang yang memiliki percaya atau iman bisa digolongkan sebagai anak Abraham. Orang-orang Yahudi jelas mengaku dan merasa sebagai anak-anak Abraham, karena mereka memiliki garis keturunan secara darah dari Abraham.
Namun Alkitab juga mencatat bahwa orang yang percaya kepada Yesus, yang memiliki iman kepada Allah melalui Yesus, juga anak-anak Abraham. Jadi, kita adalah anak-anak Abraham oleh iman. Persoalannya, iman yang bagaimana yang harus kita miliki, supaya kita dapat digolongkan sebagai anak Abraham? Kalau orang Yahudi merasa dan mengaku anak Abraham, Tuhan mengoreksi: “Kamu bukan anak Abraham. Kalau kamu anak Abraham, kamu melakukan apa yang Abraham lakukan.” Kita yang mengaku dan merasa anak-anak Abraham oleh iman, harus mempersoalkan apakah kita melakukan apa yang Abraham lakukan. Apakah kita memiliki iman seperti iman yang dimiliki Abraham? Ternyata untuk digolongkan sebagai orang beriman, anak Abraham, itu berat.
Di Yakobus 2:19 tertulis, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” Kalau iman kita tidak seperti iman Abraham, maka kita masih berpotensi melakukan tindakan seperti setan; atau bisa kerasukan setan. Harus ada perbuatan yang menunjukkan iman. Masalahnya, iman itu apa? Paulus mengatakan, “Lihatlah, Abraham dibenarkan karena iman.” Iman yang dimaksud oleh Paulus tentu bukan sekadar keyakinan di dalam pikiran atau pengaminan akali. Sebab apa yang dilakukan oleh Abraham itulah perwujudan dari imannya.
Abraham dibenarkan karena iman. Iman Abraham bukan hanya keyakinan di dalam pikiran, melainkan tindakan. Yakobus menyingkapkan kebenaran bagaimana memiliki iman yang benar. “Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong?” Iman harus disertai perbuatan, bukan hanya keyakinan di dalam pikiran; keyakinan harus disertai dengan tindakan. Di dalam kitab Roma, ketika Paulus menulis mengenai iman, Paulus tidak bermaksud menjelaskan ekspresi dari tindakan iman. Dia sedang berhadapan dengan orang Yahudi dengan segala kesombongannya, yang memandang bahwa dengan melakukan hukum Taurat, bisa selamat. Maka, Paulus mengatakan tidak ada orang yang bisa dibenarkan karena melakukan hukum Taurat, tetapi karena iman. Maksud “iman” adalah keyakinan kepada Yesus. Jadi, iman dalam keyakinan pikiran itu tidak cukup, tetapi harus disertai dengan perbuatan.
Kita percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, entah kita dari kecil Kristen atau menikah dengan orang Kristen, lalu jadi Kristen. Keyakinan ini menjadi sempurna, menjadi benar, imannya diterima, kalau disertai perbuatan. Dengan perbuatan, iman menjadi sempurna. Kita harus melihat Abraham. “Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya?” Kapan? Ketika ia mempersembahkan, Ishak, anaknya di atas mezbah. Iman yang benar, yang dicontohkan oleh Abraham adalah tindakan melepaskan apa pun, termasuk yang paling disayangi, yang paling dicintai.
Bagi Zakheus, uang itu segalanya. Tetapi begitu dia percaya Tuhan Yesus, dilepaskan. Ini sama dengan Abraham, Ishak dilepaskan. Tidak boleh ada yang tersayang, tercinta dalam hidup kita selain Tuhan. Jika ada yang kita sayangi dan cintai lebih dari Tuhan, kita tidak bisa beriman. Kalau Tuhan menjadi yang tercinta dan tersayang dalam hidup kita, tidak ada celah Iblis masuk. Ketika Zakheus memberikan separuh hartanya dan mengembalikan empat kali lipat kepada orang yang pernah dia peras, bisa saja dia menjadi orang miskin atau menjadi tidak kaya lagi. Tuhan Yesus melihat keseriusan Zakheus menerima diri-Nya menumpang di rumahnya.
Kalau kita hanya meyakini dalam pikiran Allah itu ada, Allah itu esa, maka kita masih bisa berpotensi berperilaku seperti setan atau masih berpotensi dikuasai dan berperilaku seperti roh-roh jahat. Tetapi kalau kita seperti Abraham; yang tersayang, yang tercinta, rela dilepaskan, bisa harta, kekayaan, hobi, nafsu, harga diri, apa pun, kita tidak membuka celah terhadap kuasa kegelapan atau roh-roh jahat. Kita baru bisa mengenakan hidup-Nya Yesus, dan bisa berkata, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Kita baru bisa melihat kekristenan yang benar. “Kristen” artinya “seperti Kristus.” Orang yang mengaku Yesus Tuhan atau percaya kepada-Nya, ia wajib hidup sama seperti Dia hidup.
Iman yang benar adalah tindakan melepaskan apa pun, termasuk yang paling disayangi dan dicintai.